Catatan Denny JA: Ilmu Menjadi Tanah Air Pengganti
- Penulis : Imron Fauzi
- Jumat, 04 Oktober 2024 13:00 WIB
BISNISABC.COM - Di tahun 1960-an, ketika tak bisa pulang ke tanah air Indonesia, Sartono menemukan "rumah" baru dalam ilmu pengetahuan, berjuang melawan keterasingan di negeri yang tak dikenal.
-000-
“Aku peramu ilmu,
bukan prajurit ideologi.
Negaraku tak terlukis di peta,
tapi di dunia ilmu pengetahuan."
Baca Juga: Bantal Kereta Cepat Whoosh Hilang, KCIC Imbau Penumpang Agar Tak Merusak Fasilitas
Di tepi sungai Spree,
Sartono menatap bayangannya,
rapuh dan kabur,
terbias arus yang dingin.
Harapannya retak.
Ia adalah kaca yang pecah tanpa suara.
Dingin malam Berlin
membangkitkan luka yang tak sembuh,
meski tahun-tahun berlalu,
tersembunyi di balik senyap salju.
“Ini bukan revolusiku,
bukan medan tempurku,"
bisiknya lirih,
terperangkap dalam janji yang pupus.
"Aku terjebak,
menjadi bayangan yang terus memudar,
tanpa arah, tanpa akhir."
Baca Juga: PT LIB Kecam Kericuhan Penonton Serang Petugas Steward di Bandung
Tangannya gemetar,
bukan karena udara yang menusuk,
tapi masa depan yang padam,
jejak yang hilang ditelan badai.
Pulang?
Paspor telah dicabut,
tanah air memalingkan wajah.
Di mana rumah,
jika kenangan adalah serpihan?
Di mana aku menemukan jalan pulang
di dunia yang tak mengenalku lagi?
Tahun 1960-an,
Bung Karno mengirimnya ke Moskow,
untuk memetik bunga revolusi.
Baca Juga: MPR Bebaskan Nama Soeharto dari TAP MPR tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Namun pohon besar itu tumbang.
Segala akarnya dicabut.
Dihempas angin topan.
Aku daun kecil ikut terbawa,
melayang- layang,
berputar tanpa arah,
tak menapak tanah.
Sepi datang, menjadi virus
lebih dingin dari salju,
lebih kejam dari revolusi yang gagal,
mengiris jiwaku,
mengoyak mimpi yang pernah mekar,
di atas ilusi kekuasaan.
Baca Juga: 3 Dampak Serius Stereotip Gender pada Remaja, Salah Satunya Menurunnya Kepercayaan Diri
“Aku berlari,
tapi dari apa?
Dari diriku sendiri?”
---
Namun di tengah kehancuran,
seberkas cahaya muncul,
bukan dari api revolusi yang meredup,
melainkan dari dunia ilmu pengetahuan,
yang diam-diam menyusup,
membuka jendela ke dunia yang lebih luas.
Baca Juga: 3 Fakta Dibalik Peran Orang Tua dalam Membentuk Karakter Anak
Jika tak ada tanah untukku,
aku akan menciptakan rumah
dari ilmu yang kupelajari.
Ini rumah tanpa batas,
tanpa paspor,
tanpa negara,
setiap molekul menjadi pijakan.
Dari Moskow, Sartono mencari jalan, ke Berlin, lewat jalan rahasia, tersembunyi.
Rasa takut dikalahkan jeritan kebebasan.
Baca Juga: Denny JA Resmikan Kelas Kreator Cerdas AI di SMK Muhammadiyah Cepu Blora
Berlin Barat, 1977.
Aku tiba dengan tangan kosong,
berlindung dari bayangan masa lalu.
Tak ada nama yang memanggilku,
tak ada jejak yang mengenaliku.
Namun di Max Planck,
aku temukan tanah air baru,
bukan dari tanah,
tapi dari rumus dan formula ilmu,
yang menjawab sepi dalam dadaku.
“Ilmu adalah jalanku pulang,”
bisikku pada malam tanpa bintang.
Baca Juga: Prancis Kutuk Serangan Israel terhadap Sekolah dan Panti Asuhan di Gaza Utara
Setiap rumus yang kugoreskan
adalah puisi,
setiap temuan riset adalah nyanyian,
membangkitkan jiwa yang pernah hilang.
---
Sartono, di tepi sungai Spree,
berdialog dengan bayangannya.
“Apakah ini akhir pencarianku?
Apakah ini jawabannya?”
Baca Juga: Infinix Siap Luncurkan Ponsel Terbaru HOT 50i dan Smart 9 di Indonesia pada 7 Oktober 2024
Ilmu telah menjadi bahasaku,
dan dalam setiap kajian buku,
aku menemukan kembali diriku.
“Tanah air bukan di mana kakiku berpijak,"
"Tapi di setiap pengetahuan yang kugenggam."
Kembali ke Indonesia dua kali,
tapi semuanya terasa asing.
Hanya ilmu yang setia,
tak pernah meninggalkanku.
Malam di Berlin,
di tepi sungai yang beku,
aku tak lagi bertanya soal paspor atau bendera.
Ilmu adalah tanah air keduaku,
dan di dalam buku,
aku telah pulang.
Aku bukan lagi daun yang
melayang di badai, melainkan pohon yang
berakar kuat,
berdiri kokoh di tanah
pengetahuan.
Ilmu adalah bahasaku,
Buku adalah benderaku.
"Tanah air bukan di mana
kakiku berpijak,
tapi di mana pikiranku
bertumbuh.***
CATATAN
Kisah ini fiksi, terinspirasi dari kehidupan Waruno Mahdi, seorang eksil Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya akibat peristiwa 1965, namun menemukan identitas dan "rumah" dalam ilmu pengetahuan.