BISNISABC.COM - Di masa tua, seorang mahasiswa Indonesia yang terusir dari negara akibat prahara tahun 1960-an, mengalami dilema antara rindu tanah air dan hidup nyaman di tanah asing.
-000-
Tahun enam-puluhan, aku berangkat dengan dada yang penuh,
tas lusuh.
Impian Bung Karno dititipkan di pundakku.
Baca Juga: CEO Citi Indonesia memastikan bahwa akuisisi UOB akan selesai pada akhir tahun 2023
Kami adalah kapal kecil di samudra sejarah,
menuju negeri jauh, menggapai ilmu dan masa depan,
untuk tanah yang suatu hari akan kami pijak lagi.
Tapi angin berubah, cepat, liar.
Suara Bung Karno tenggelam,
nama yang terhapus dari lembar buku sejarah.
Kami, yang dulu dielu-elukan,
berubah jadi daun layu tertiup angin, tersingkir ke sudut senyap, tak lagi dilihat.
Baca Juga: Museum Topeng Cirebon Resmi Dibuka Gratis untuk Umum! Ini Keunikan yang Ditawarkan
Dulu kami kibarkan bendera harapan, sekarang bayang-bayang kami memudar di mata sejarah.
Aku gemetar, kawan,
bukan karena dingin,
tapi karena dinding besi yang menunggu di ujung jalan.
Aku takut pada tuduhan yang datang seperti angin badai, membawa namaku ke tempat yang tak pernah kujejaki,
ke ruang sunyi tanpa suara pembelaan.
Baca Juga: MPR Bebaskan Nama Soeharto dari TAP MPR tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
-000-
Di negeri ini, negeri asing,
yang tak pernah kubayangkan jadi tempatku menetap.
Aku menjadi perahu terdampar di pantai asing,
bertahan, tapi tak pernah benar-benar berlabuh.
Baca Juga: Cara Mengatasi Insecure: Latih Pikiran Positif, Self-Care dan Dukungan Emosional
Mereka memberiku atap untuk berlindung,
sejumput hak,
dan kehormatan yang dingin, seperti mantel yang melindungi tubuh, namun tak pernah menghangatkan jiwa yang mulai rapuh.
Tapi lihatlah hatiku.
Ia tertinggal di antara sawah menguning di Wonosobo,
di bawah langit yang senantiasa berubah,
di tanah yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.
Tapi pulang? Pulang itu apa, kawan?
Aku memang rindu suara hujan di atap seng,
rindu harum tanah basah yang dulu kusapa setiap pagi di rumah ibu, di pinggir sawah.
Baca Juga: Harga Cengkeh dan Kopra di Ternate Melonjak, Petani Mulai Jual Hasil Panen ke Pengusaha
Namun, apakah tanah itu masih mengenalku?
Apakah aku masih punya hak untuk berdiri di atasnya,
atau hanya bayangan yang tak lagi diingat?
Politik telah berubah,
reformasi katanya, pintu terbuka,
namun aku tetap terperangkap.
di antara kerinduan yang terus menggeliat
dan ketakutan yang tak kunjung padam.
Baca Juga: Denny JA Resmikan Kelas Kreator Cerdas AI di SMK Muhammadiyah Cepu Blora
Tubuhku renta,
di sini mereka memberiku kursi empuk,
segelas teh hangat,
dan janji bahwa aku tak perlu takut hari tua.
Tapi apakah itu cukup?
Apakah kursi empuk bisa menggantikan kerasnya rotan ibu?
Apakah teh hangat bisa menghapus kenangan kelapa segar
yang kuteguk di bawah terik matahari kampung halaman?
Aku bimbang, kawan,
langit Indonesia tetap memanggil,
namun di bawahnya, tanah yang dulu akrab kini terasa asing.
Baca Juga: Samsung Galaxy S24 FE: Inovasi AI untuk Konten Kreatif dan Komunikasi Sehari-hari
Aku ingin pulang,
tapi ketakutan membelit.
Aku takut negeri itu tak lagi mengenal wajahku yang penuh keriput,
takut tak ada lagi kehangatan menyambutku di sana.
Apa yang tersisa bagiku, setelah langkah-langkahku tak lagi meninggalkan jejak?
Di sini, aku terlindung dari badai,
tapi jiwaku mengambang dalam kehampaan.
Baca Juga: LSI Denny JA Soroti Keberhasilan Kebijakan Ekonomi Selama 10 Tahun Pemerintahan Jokowi
Di sana, ada cinta yang dulu membara,
tapi apakah bara itu masih mengingat namaku, atau sudah padam tertiup angin waktu?
Aku tak tahu, kawan,
tak ada luka yang lebih dalam daripada tersesat di antara dua pintu,
yang keduanya terkunci rapat, dan tak ada kunci yang kubawa.
Jakarta, 5 Oktober 2024.***
Baca Juga: Rupiah Melemah terhadap Dolar AS di Tengah Ketegangan Geopolitik di Timur Tengah
CATATAN:
(1) Puisi esai ini fiksi, diinspirasi oleh banyak kisah pelajar Indonesia yang disekolahkan ke luar negeri pada tahun 1960-an. Namun, prahara politik mengubah hidup mereka.