Monday, Apr 7, 2025
Kolom

Angkatan Puisi Esai, Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis

image
Ilustrasi - Denny JA dalam Festival Puisi Esai. (mediaindonesia.com)

Kiranya sikap saya seperti itu yang juga membuat saya menyambut baik kenyataan bahwa dalam kesusastraan Jerman kontemporer konsep "generasi sastra" telah melemah dan hampir tidak memainkan peranan lagi. Ini disebabkan berbagai faktor, termasuk peningkatan pluralitas sosial dan budaya, individualisasi, globalisasi, perubahan media, dan juga perkembangan dalam studi sastra yang semakin diwarnai oleh penekanan pada intertekstualitas, hibriditas, dan pendekatan poststrukturalis yang membuat pembagian penulis ke dalam generasi menjadi semakin problematis.

Namun, saya tentu memaklumi bahwa membagi dan mengkategorikan adalah kebutuhan manusia, dan tetap masuk akal serta bermanfaat jika kita menggunakan konsep "angkatan sastra“.

Karena angkatan demikian bisa saja diidentifikasi jika kita bertolak dari definisi "angkatan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berbunyi: "Kelompok sastrawan yang bertindak sebagai kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra." Dengan definisi ini, tidak ada keraguan untuk menganggap konsep "Angkatan Puisi Esai" sebagai sesuatu yang sangat sah untuk kesusastraan Indonesia yang mutakhir. Bahkan jauh lebih sah dibandingkan dengan berbagai angkatan sastra masa lalu yang hanya menyandang nama tahun saja.

Baca Juga: Merger Besar Fashion, Pemilik Coach Membeli Versace dan Michael Kors

Yang sangat penting dan perlu dicatat: Angkatan Puisi Esai yang lahir di Indonesia ini benar-benar sebuah generasi sui generis, yakni sebuah angkatan yang unik tak terbandingi, bahkan menurut ukuran internasional serta ukuran sejarah.

Karena hingga saat ini, tampaknya belum pernah ada generasi atau aliran dalam dunia sastra yang diberi nama genre sastra.

Dan dalam konteks terbatas, yakni konteks Indonesia, baru kali ini ada gerakan sastra yang telah berkembang menjadi sebuah angkatan yang sanggup menembus kerangka nasional dengan melintasi perbatasan Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura, seperti yang dijelaskan oleh Agus R. Sarjono dalam pembenaran yang meyakinkan tentang keberadaan Angkatan Puisi Esai.

Baca Juga: Khairul Jasmi Sebut AI Hanya Alat Bantu, Bukan untuk Menuangkan Isi Pikiran Jurnalis

Dulu, pada tahun 2012, ketika saya bereaksi dengan sangat tidak antusias terhadap kehadiran rubrik Puisi Esai di Jurnal Sajak, saya sama sekali tidak membayangkan perkembangan fenomenal yang akan terjadi pada ide "Puisi Esai". Siapapun tak sanggup memperkirakannya. Sedangkan sekarang timbul pertanyaan, apakah dalam sejarah sastra sebuah genre yang digagas oleh satu individu pernah mengalami perkembangan sedahsyat ini?  Sepertinya, tak pernah terjadi.

(Dikutip dari kata penutup Berthold Damshäuser dalam buku Angkatan Puisi Esai, Kitab 3, yang terbit pada bulan Desember 2024). ***

Berthold Damshäuser, akrab dipanggil “Pak Trum“, lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Dari tahun 1986 s/d tahun 2023 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Koeditor Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003.

Baca Juga: Shin Tae yong Targetkan Hasil Terbaik di Piala AFF 2024 dan Siapkan Timnas U-22 untuk SEA Games

Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Pada tahun 2014 dan 2015 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Penulis esai dalam bahasa Indonesia yang terbit di Majalah Tempo, Jurnal Sajak, dan media lain. Bunga rampai tulisannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam buku Ini dan Itu Indonesia - Pandangan Seorang Jerman.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait