Angkatan Puisi Esai, Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis
- Penulis : Imron Fauzi
- Sabtu, 14 Desember 2024 19:46 WIB
Oleh Berthold Damshäuser *
BISNISABC.COM - Ketika Agus R. Sarjono mengajak saya untuk berpartisipasi dalam proyek buku bertemakan "Angkatan Puisi Esai", saya tidak ragu-ragu untuk menyetujuinya.
Karena proyek ini sangat berkaitan dengan Puisi Esai, yang perkembangannya telah saya ikuti dari dekat dan secara intensif sejak kemunculannya pada tahun 2012.
Baca Juga: Merger Besar Fashion, Pemilik Coach Membeli Versace dan Michael Kors
Salah satu penyebabnya adalah kegiatan saya sebagai redaktur majalah sastra "Jurnal Sajak", yang –mulai dengan edisi nomor 3 tahun 2012– memuat rubrik "Puisi Esai" dengan tujuan untuk menyebarluaskan dan mempromosikan jenis puisi baru itu.
Seperti bisa dibaca dalam esai saya dari tahun 2015 berjudul "Puisi Esai – Ke Mana Sanggup Ia Berkembang?" (dimuat di volume IV seri buku Angkatan Puisi Esai yang baru saja diterbitkan), saya sama sekali tidak antusias dengan diadakannya rubrik yang berfokus pada apa yang disebut sebagai genre sastra baru.
Puisi esai pertama yang saya baca – tentu saja karya Denny JA – bagi saya tidak cukup puitis, dan sama sekali tidak sesuai dengan apa yang saya uraikan dalam editorial Jurnal Sajak 2/2011 berjudul "Merindukan Puisi yang Bukan Prosa, Merindukan Sajak", di mana saya menjelaskan puisi jenis apa yang saya cintai dan puisi mana yang saya harapkan akan diperjuangkan oleh Jurnal Sajak, yaitu „karya seni bahasawi“ yang dihasilkan oleh seniman bahasa yang sejati.
Baca Juga: Khairul Jasmi Sebut AI Hanya Alat Bantu, Bukan untuk Menuangkan Isi Pikiran Jurnalis
Namun, jelas juga dari esai saya tahun 2015 itu, bahwa akhirnya saya sampai pada penilaian positif terhadap fenomena puisi esai dan juga menyampaikan argumentasi yang mendukung pengakuannya sebagai genre sastra. Saya juga menerjemahkan puisi esai karya Denny JA berjudul "Sapu Tangan Fang Yin" ke bahasa Jerman dan mempublikasikannya di sebuah jurnal sebagai upaya memperkenalkan puisi esai kepada publik Jerman.
Yang juga mengikat saya –setidaknya secara tidak langsung– dengan puisi esai adalah keterlibatan saya dalam TIM 8, yang pada tahun 2014 menerbitkan buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" di mana Denny JA dinobatkan sebagai salah satu dari 33 tokoh itu karena genre puisi esai yang ia gagas dan khususnya karena keberhasilan penyebarluasannya. Reaksi geram dari sebagian publik sastra Indonesia, terutama mereka yang disebut "aktivis sastra", tidak bisa dilupakan.
Saya menjadi sasaran permusuhan sengit dan di media sosial disebut sebagai "Pembunuh Sastra Indonesia", dengan peringatan untuk tidak datang ke Indonesia lagi.
Baca Juga: Shin Tae yong Targetkan Hasil Terbaik di Piala AFF 2024 dan Siapkan Timnas U-22 untuk SEA Games
Salah satu komentar paling membingungkan datang dari seorang penyair Indonesia yang menikah dengan perempuan Jerman, yang menulis di Facebook: "Buku sampah itu [buku 33 Tokoh] sangat layak dibakar dan para penyusunnya dibuang ke Auschwitz."
Melihat kembali, polemik dan kehebohan tahun 2015 tentang puisi esai dan buku "33 Tokoh" memang terlihat konyol dan absurd, tetapi tetap akan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Maka dapat dikatakan, bahwa karena puisi esailah, saya pun akan menjadi catatan pinggir dalam sejarah sastra Indonesia.
Dan kini, sepuluh tahun kemudian, di tahun 2024, saya berurusan lagi dengan puisi esai, kali ini dalam kaitan dengan sebuah seri buku berjudul "Angkatan Puisi Esai".
Baca Juga: Gempa Magnitudo 2,8 Guncang Karangasem Bali, BMKG Imbau Warga Tetap Tenang
Akankah buku-buku ini, yang dapat dipahami sebagai postulat keberadaan sebuah "Angkatan Puisi Esai", kembali menimbulkan kontroversi tajam di kalangan publik sastra Indonesia?
Ini sudah bisa diduga, meskipun mungkin tidak akan mencapai tingkat sengit dan tidak objektifnya polemik di tahun 2015.
Mungkin kali ini akan ada lebih sedikit diskusi tentang apakah puisi esai memenuhi syarat sebagai genre sastra. Menyangkal hal ini memang sudah menjadi semakin sulit sejak Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan istilah "puisi esai" sebagai istilah baku dan sejak ratusan penulis secara terus-menerus menuliskan karya yang mereka definisikan sebagai "puisi esai".
Baca Juga: RSUD Kramat Jati Jakarta Buka Lowongan Kerja Petugas Kebersihan dan Keamanan, Ini Persyaratannya!
Agaknya, sehubungan dengan pencanangan "Angkatan Puisi Esai", peran Denny JA sebagai maesenas gagasan dan tujuannya sendiri akan kembali dikritik dengan menyatakan bahwa itu saja yang menyebabkan keberhasilan puisi esai dan kegiatannya yang lain di bidang sastra.
Banyak orang memang mengabaikan fakta bahwa ide yang buruk atau nonsense tidak akan bertahan lama, bahkan dengan dukungan pendanaan terbesar sekalipun, dan bahwa ide "puisi esai" sekarang sudah mapan dan tidak memerlukan promosi lagi. Tetapi, kemarahan (dan rasa putus asa) sebagian publik sastra Indonesia pasti akan berlanjut. Ini tidak mengherankan, karena memang sulit sekali untuk menerima bahwa seorang yang bukan sastrawan murni, apalagi penyair murni, memiliki pengaruh begitu besar terhadap sastra Indonesia modern, bahkan terhadap puisi kontemporer.
Mengenai gagasan dan proklamasi "Angkatan Puisi Esai", sikap saya sebenarnya tidak lepas dari berbagai pertimbangan skeptis yang bersifat dasariah. Sejak dulu, sejak kuliah di jurusan sastra (Jerman dan Indonesia), saya sering tidak yakin dengan pengkotak-kotakan ke dalam era atau aliran, atau –seperti yang lazim terjadi di Indonesia– ke dalam "angkatan". Misalnya istilah "Angkatan 1945".
Baca Juga: 6 Kuliner Malam Paling Hits di Majalengka, Rekomendasi Santapan Ketika Musim Hujan
Bagi saya istilah itu tidak memiliki makna mencukupi, dan saya selalu menjelaskan kepada para mahasiswa saya di Universitas Bonn bahwa sastra Indonesia pada periode 1945-1966 dicirikan oleh pertentangan antara konsep Humanisme Universal dan Realisme Sosialis, hal yang sama sekali tidak diekspresikan oleh istilah "Angkatan 45", melainkan justru disembunyikan atau dikaburkan.
Selain itu, sebuah pikiran yang lebih mendasar yang menyebabkan keengganan saya untuk mengkategorikan karya sastra ke dalam era, aliran atau angkatan. Yang benar-benar penting dalam sastra selalulah sang karya individual, serta pertanyaan tentang kualitas isi dan bentuk yang dimilikinya dan apa yang sanggup disampaikannya kepada pembaca. Segala sesuatu yang lain adalah hal sekunder dan terutama menjadi urusan studi sastra dan sejarah sastra.
Kiranya sikap saya seperti itu yang juga membuat saya menyambut baik kenyataan bahwa dalam kesusastraan Jerman kontemporer konsep "generasi sastra" telah melemah dan hampir tidak memainkan peranan lagi. Ini disebabkan berbagai faktor, termasuk peningkatan pluralitas sosial dan budaya, individualisasi, globalisasi, perubahan media, dan juga perkembangan dalam studi sastra yang semakin diwarnai oleh penekanan pada intertekstualitas, hibriditas, dan pendekatan poststrukturalis yang membuat pembagian penulis ke dalam generasi menjadi semakin problematis.
Baca Juga: Harga Pangan Hari Rabu Menurut Bapanas: Ayam Ras dan Cabai Merah Naik, Beras Medium Turun
Namun, saya tentu memaklumi bahwa membagi dan mengkategorikan adalah kebutuhan manusia, dan tetap masuk akal serta bermanfaat jika kita menggunakan konsep "angkatan sastra“.
Karena angkatan demikian bisa saja diidentifikasi jika kita bertolak dari definisi "angkatan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berbunyi: "Kelompok sastrawan yang bertindak sebagai kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra." Dengan definisi ini, tidak ada keraguan untuk menganggap konsep "Angkatan Puisi Esai" sebagai sesuatu yang sangat sah untuk kesusastraan Indonesia yang mutakhir. Bahkan jauh lebih sah dibandingkan dengan berbagai angkatan sastra masa lalu yang hanya menyandang nama tahun saja.
Yang sangat penting dan perlu dicatat: Angkatan Puisi Esai yang lahir di Indonesia ini benar-benar sebuah generasi sui generis, yakni sebuah angkatan yang unik tak terbandingi, bahkan menurut ukuran internasional serta ukuran sejarah.
Baca Juga: Zulkifli Hasan Sebut Indonesia Berkomitmen Hentikan Impor Beras, Jagung, Gula, dan Garam
Karena hingga saat ini, tampaknya belum pernah ada generasi atau aliran dalam dunia sastra yang diberi nama genre sastra.
Dan dalam konteks terbatas, yakni konteks Indonesia, baru kali ini ada gerakan sastra yang telah berkembang menjadi sebuah angkatan yang sanggup menembus kerangka nasional dengan melintasi perbatasan Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura, seperti yang dijelaskan oleh Agus R. Sarjono dalam pembenaran yang meyakinkan tentang keberadaan Angkatan Puisi Esai.
Dulu, pada tahun 2012, ketika saya bereaksi dengan sangat tidak antusias terhadap kehadiran rubrik Puisi Esai di Jurnal Sajak, saya sama sekali tidak membayangkan perkembangan fenomenal yang akan terjadi pada ide "Puisi Esai". Siapapun tak sanggup memperkirakannya. Sedangkan sekarang timbul pertanyaan, apakah dalam sejarah sastra sebuah genre yang digagas oleh satu individu pernah mengalami perkembangan sedahsyat ini? Sepertinya, tak pernah terjadi.
Baca Juga: BMKG Peringatkan Hujan dan Potensi Cuaca Ekstrem di Berbagai Wilayah Indonesia
(Dikutip dari kata penutup Berthold Damshäuser dalam buku Angkatan Puisi Esai, Kitab 3, yang terbit pada bulan Desember 2024). ***
* Berthold Damshäuser, akrab dipanggil “Pak Trum“, lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Dari tahun 1986 s/d tahun 2023 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Koeditor Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003.
Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Pada tahun 2014 dan 2015 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Penulis esai dalam bahasa Indonesia yang terbit di Majalah Tempo, Jurnal Sajak, dan media lain. Bunga rampai tulisannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam buku Ini dan Itu Indonesia - Pandangan Seorang Jerman.
Baca Juga: Kurs Rupiah Jumat Pagi Tergelincir 21 Poin
Salah satu buku terbarunya berjudul “Mythos Pancasila“ dan terbit di Jerman pada tahun 2021. Anggota Satupena sejak tahun 2023, tinggal di Bonn/Jerman. Website: https://www.ioa.uni-bonn.de/soa/de/pers/personenseiten/berthold-damshaeuser/berthold-damshaeuser