DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet

image
Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet. (istimewa)

2019, di Ohio, USA, anak 13 Tahun Dirawat di Rumah Sakit Karena Kecanduan Internet

BISNISABC.COM - David, termenung di depan layar.
Semestanya menyempit ke dalam layar kecil ponsel.
Dunianya mengerucut menjadi segenggam kaca.

Pelukan digantikan emoji.
Suara tawa teredam oleh bisu algoritma.

David melarikan diri ke semesta layar.
Di sana, piksel menjadi penjaga gerbang.
Dunia nyata tak lagi mampu
menjangkau hatinya.

Baca Juga: Gelar Jalan Sehat dan Sajian Kuliner Legendaris, Pemkot Bogor Gandeng Kadin


Cahaya biru menari di wajahnya, pucat, seperti bulan yang muram.

Matanya kosong, mencari keajaiban yang tak pernah ada.

“David, sudah larut.
Matikan dulu ponselmu,” bisikku lembut.
Tapi ia diam.
Suaraku hanyalah bayang angin.


Tangannya menggulir layar, menghapus jejak dunia nyata.
Ia menjauh dari meja makan, dari keluarga, dari kakak dan adiknya.

Baca Juga: Infinix Siap Luncurkan Ponsel Terbaru HOT 50i dan Smart 9 di Indonesia pada 7 Oktober 2024

Aku ingat masa itu.
Dulu, sebelum ponsel itu menjauhkan David dari kami.


Di lapangan, ia berlari mengejar bola.
Tawanya pecah, seperti matahari yang tak pernah redup.
Pelukannya kecil, tapi hangat menjadi api unggunku di malam dingin.


Namun kini, David berubah.
Ia hanya bayangan yang melintas di lorong,
Hilang, tenggelam dalam lautan tak kasat mata.

Baca Juga: Perbedaan Vasektomi dan Kebiri: Prosedur dan Dampaknya pada Kesehatan Pria

Kami kehilangan David.
Bukan ia ditelan badai.
Bukan ia dimakan laut yang ganas.
David hilang karena arus tak terlihat.


Ia ditelan gelombang digital tanpa tepi.
Ia hilang di dalam ponsel.
Ia mengurung diri,
hanya bicara pada layar kaca.
Membangun tembok tak terlihat di antara kami.

Lalu datang pagi-pagi yang sunyi.
Tugas sekolahnya tertinggal di sudut-sudut waktu.

Baca Juga: Oppo Find X8 dan Find X8 Pro Resmi Hadir di Indonesia, Usung Chipset Tangguh dan Kamera Hasselblad


Matanya merah,
digerogoti malam-malam tanpa tidur.
Tubuhnya layu.
David kini pohon yang kehilangan akarnya.

Oh, anakku menghilang sudah.
Ia menjadi asing,
Seperti cermin retak yang tak lagi memantulkan dirinya sendiri.

Kami mencoba melawan arus itu.
Mematikan Wi-Fi, menyembunyikan ponselnya.
Tapi ia marah, seperti binatang terluka.


Ia berteriak, memecahkan barang.
Meninggalkan kami dalam kepedihan yang bisu.
Cinta kami tak cukup untuk menariknya kembali.

Baca Juga: Sri Mulyani Bahas Program Makan Bergizi Gratis dengan Gates Foundation untuk Atasi Stunting


Akhirnya, kami menyerah.
David butuh lebih dari sekadar pelukan kami.
Kami membawanya ke pusat rehabilitasi.
Ia dirawat khusus,
di rumah sakit.

Kami hanyalah pelaut di tengah badai,
melawan ombak digital yang tak mengenal pantai.


David semakin jauh,
dan kapal
kami tak mampu mengejarnya.

Di sana, di rumah sakit,
layar dimatikan,
Hidup perlahan dinyalakan kembali.

Baca Juga: Shin Tae yong Targetkan Hasil Terbaik di Piala AFF 2024 dan Siapkan Timnas U-22 untuk SEA Games


David belajar menghirup udara tanpa Wi-Fi.
Ia mencoba melukis,
Garis-garisnya gemetar, tapi penuh asa.


“Ini perjalanan panjang,” kata terapisnya.

“Tapi ia bisa pulih.”

Baca Juga: BMKG Peringatkan Potensi Gelombang Tinggi dan Cuaca Ekstrem di Perairan Sumut-Aceh


Aku melihat ia bermain bola lagi.
Tawanya kecil, seperti lilin yang baru menyala.
Namun, aku tahu luka itu tetap ada.


Seperti bayangan yang bersembunyi di sudut pikirannya.
Setiap kali ia melihat layar,
Aku takut ia akan jatuh lagi ke jurang itu.

Internet tetap ada, seperti laut yang tak pernah kering,
Namun David pulang, dengan langkah kecil menuju terang.

Malam ini, ia duduk di sebelahku.
Tangannya menggenggam tanganku, hangat, nyata.
“Aku ingin belajar kembali, Bu,” katanya lirih.

Baca Juga: Gunung Semeru Erupsi 11 Kali dalam Sehari, Kolom Letusan Capai 600 Meter


Dan aku tahu, masih ada harapan.
Di ujung cahaya layar yang perlahan meredup,
ada dunia yang menanti, memeluknya kembali.

David menjadi cermin.
Kita semua kini pelaut dalam badai digital.
Ada yang selamat.
Ada yang tenggelam.

Kupeluk David, anakku.
Kukecup keningnya.
Kuhembuskan doa,
agar  ia kembali,
kembali memeluk hidup yang nyata.

Baca Juga: Bulog Semarang Pastikan Stok Beras Aman Jelang Natal dan Tahun Baru 2025

“Aku merindukan tawa kecilmu, nak, seperti hujan pertama yang menyentuh tanah kering. 

Kemarin kau tenggelam dalam layar, seperti ikan yang lupa bahwa lautnya adalah rumah.”

Jakarta, 7 Desember 2024.***

CATATAN

(1) Puisi esai ini adalah fiksi diinspirasi kisah nyata

Kisah Bocah 13 Tahun Dirawat karena Kecanduan Internet

Berita Terkait