DECEMBER 9, 2022
News

Diskusi Satupena, Eka Budianta Sebut Peluang Jadi Sastrawan Semakin Terbuka

image
Eka Budianta (lukisan Denny JA)

Menurut Eka, beruntung bila masih ada penghargaan untuk mengenang zaman yang lampau.  Sejarah kesusasteraan Indonesia memang dipenuhi dengan inovasi dan “pemberontakan”.  

“Pada masa silam, para pujangga adalah staf atau karyawan kerajaan. Tugasnya mengharumkan nama para raja, membuat mitos, legenda dan kisah-kisah heroisme,” ucap Eka. 

Ditambahkannya, pada dasawarsa 1920-an, muncul novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar sebagai karya sastra modern Indonesia yang pertama.  

Baca Juga: 4 Manfaat Tersembunyi Daun Kari Bagi Kesehatan, Salah Satunya Turunkan Berat Badan

“Ternyata bukan hanya puja-puji tentang kehidupan di istana, rakyat jelata juga boleh menulis dan mendapat bacaan tentang nasib sendiri,” sambungnya.

Eka mengaku bersyukur pernah bertemu dan berbicara dengan kritikus sastra HB Jassin.  

“Almarhum memberikan landasan bahwa karya sastra perlu memiliki etika. Karya sastra juga diharapkan menawarkan cita-cita luhur kepada masyarakat,” tegasnya.

Baca Juga: Satu Pekan Jelang Idul Adha, Harga Kebutuhan Pokok di Sigi Mulai Naik

“Singkatnya, setiap puisi harus berguna. Bisa sebagai kritik pada penguasa, seperti yang ditulis Rendra. Bisa juga sebagai hiburan dan nasihat, seperti yang ditulis oleh Joko Pinurbo,” kata Eka.

Dalam kenyataannya, kata Eka, masyarakat memerlukan banyak kesadaran.  Mulai dari sadar gender, sadar sejarah, sadar ekonomi, sadar hukum, dan sadar nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama.  

“Saya percaya bahwa munculnya kebebasan yang baru, selalu diikuti tuntunan hidup yang baru,” imbuhnya.***

Baca Juga: Satupena Gelar Diskusi soal Masa Depan KPK Sebagai Panglima Pemberantasan Korupsi, Hardirkan Wina Armada Sukardi

Halaman:
1
2

Berita Terkait