Satrio Arismunandar: Denny JA, Mario Klingemann dan Penerapan Artificial Intelligence di Dunia Seni Lukis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 11 Juni 2024 05:18 WIB
Oleh: Satrio Arismunandar* BISNISABC.COM - Saya bukan pelukis profesional. Saya juga bukan pengamat atau ahli seni lukis. Paling banter, saya adalah penikmat lukisan. Saya menikmati keindahan, keunikan, atau kedalaman suatu lukisan sebagaimana saya juga menikmati keindahan, keunikan dan kedalaman sebuah film, novel, cerpen, dan puisi. Meski bukan ahli seni lukis, saya menyadari bahwa di dunia seni lukis –sebagaimana di dunia tulis-menulis—juga ada perkembangan baru dengan munculnya teknologi yang dinamakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). AI adalah cabang ilmu komputer yang berfokus pada pembuatan sistem atau mesin, yang dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Ini mencakup berbagai teknologi dan pendekatan, termasuk pembelajaran mesin (machine learning), pemrosesan bahasa alami (natural language processing), visi komputer (computer vision), dan robotika. Pada dasarnya, kecerdasan buatan bertujuan untuk menciptakan sistem yang dapat berpikir, belajar, dan beradaptasi seperti manusia, sehingga dapat membantu atau menggantikan manusia dalam berbagai tugas. Nah, di dunia tulis-menulis yang saya jalani sebagai wartawan dan penulis buku, AI bisa berguna dalam mengumpulkan data/informasi yang saya butuhkan untuk membuat berita atau naskah buku. Bahkan AI bisa saya minta menuliskan cerita pendek (fiksi) atau puisi, berdasarkan arahan atau kriteria yang saya instruksikan. Protes Terhadap Penerapan AI Kehadiran AI membawa berbagai dampak terhadap berbagai profesi, termasuk karir penulis naskah (script writer). Jika AI dapat menghasilkan naskah dengan kualitas yang memadai untuk berbagai keperluan, seperti iklan, acara televisi, atau konten online, permintaan untuk penulis naskah manusia bisa berkurang. Perusahaan mungkin memilih menggunakan solusi AI yang lebih murah dan lebih cepat. The Writers Guild of America (WGA) memulai pemogokan besar-besaran pada 2 Mei 2023 yang berlangsung hingga 27 September 2023. Pemogokan para penulis ini merupakan respons terhadap beberapa isu, termasuk penggunaan AI dalam penulisan naskah. Para penulis khawatir bahwa AI berpotensi menggantikan penulis manusia, merendahkan nilai karya mereka, dan menyebabkan hilangnya pekerjaan. Selama pemogokan, para penulis menuntut agar AI dibatasi hanya sebagai alat yang membantu penelitian atau menghasilkan ide naskah, bukan menggantikan penulis manusia sama sekali. Mereka sangat khawatir bahwa studio film mungkin menggunakan AI untuk menulis atau mengubah skrip, yang akan merusak proses kreatif dan berpotensi menghasilkan konten berkualitas rendah. Pemogokan ini berdampak besar pada industri perfilman di Amerika, menghentikan banyak produksi TV dan menunda proyek-proyek film penting dan berbagai talk show larut malam. Negosiasi yang berkepanjangan akhirnya menghasilkan kesepakatan tentatif di mana studio tersebut menyetujui beberapa tuntutan penulis, sehingga menetapkan batasan yang signifikan terhadap penggunaan AI dalam penulisan naskah. Seperti di dunia penulisan, AI juga memiliki dampak yang signifikan pada berbagai aspek seni lukis. Teknologi AI telah mengubah cara pelukis bekerja, menciptakan, dan berinteraksi dengan lukisan karyanya. Di luar negeri, ini sudah terjadi. Tetapi entah kenapa, di Indonesia hal ini seperti kurang bergema. Justru Denny JA, yang notabene selama ini tidak dikenal sebagai pelukis profesional, yang berani bereksperimen dengan memanfaatkan teknologi AI dalam melukis. Padahal Denny lebih dikenal sebagai konsultan politik, perintis survei politik, pengusaha, penulis, dan penggagas puisi esai. Mahakam 24 Residence Hari Senin siang, 10 Juni 2024, saya menyempatkan diri melihat lukisan-lukisan karya Denny, yang dipajang di hotel Mahakam 24 Residence, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Selaku pemilik hotel, uniknya Denny memanfaatkan ruang dalam hotel itu seolah-olah seperti galeri lukisan, tempat di mana karya seni dipamerkan kepada publik. Ada 182 lukisan Denny, yang dibuat dengan memanfaatkan teknologi AI. Lukisan-lukisan itu dipajang di dinding koridor hotel, dari lantai 2 sampai lantai 7. Bahkan pada dinding sebelah tangga untuk naik-turun antar-lantai, juga dipajang lukisan. Saya mengamati, dari 182 lukisan itu tema lukisan Denny sangat beragam, mulai dari lukisan tentang anak, kritik sosial, penderitaan warga Palestina di Gaza, Pilpres 2024, tokoh-tokoh dunia, sufisme, dan sebagainya. Denny juga tidak menunjukkan keterikatan pada aliran seni lukis tertentu. Berkat teknologi AI, Denny bisa meramu berbagai aliran, seperti renaisans, post-impresionisme, surealisme, dan lain-lain. AI memang menyediakan alat-alat kreatif baru yang memungkinkan pelukis untuk mengeksplorasi teknik dan gaya yang sebelumnya tidak mungkin. Misalnya, algoritma AI dapat menghasilkan pola, tekstur, dan bentuk yang kompleks secara otomatis. Pelukis dapat berkolaborasi dengan AI untuk menciptakan karya seni yang unik. AI dapat bertindak sebagai asisten yang membantu mempercepat proses kreatif atau memberikan inspirasi baru melalui generasi otomatis karya seni. AI dapat membantu membuat seni lebih aksesibel dengan menghasilkan karya seni yang dapat disesuaikan dengan preferensi individu. Misalnya, aplikasi AI dapat memungkinkan pengguna untuk mengubah gaya atau warna karya seni digital sesuai selera mereka. AI juga bisa berfungsi sebagai seniman. Algoritma AI, seperti Generative Adversarial Networks (GANs), dapat menciptakan karya seni dari awal. AI dapat dilatih dengan dataset karya seni yang ada untuk menghasilkan lukisan baru yang meniru gaya tertentu atau menciptakan gaya baru. Resistensi Terhadap Penggunaan AI Dengan latar belakang seperti itu, Denny JA tampak sedang mengeksplorasi, sampai sejauh mana AI bisa dimanfaatkan untuk berkreasi dan mencipta lukisan, dengan cara-cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tetapi, mengapa Denny? Mengapa bukan pelukis-pelukis lain? Bukankah di Indonesia terdapat banyak sekali pelukis? Sejauh pemberitaan media yang saya baca, sampai hari ini tidak ada pelukis Indonesia lain yang getol bereksperimen dengan teknologi AI dalam menciptakan lukisannya. Jadi, Denny bisa dibilang adalah pelukis perintis dalam penggunaan AI, meski dia mungkin belum dianggap sebagai pelukis profesional, yang mengandalkan nafkah hidup dari menjual lukisan. Apakah ada keengganan, resistensi, atau ketidaksukaan dari para pelukis Indonesia terhadap penggunaan AI? Apakah penggunaan AI dianggap “tidak bernilai seni?” Harus diakui, memang ada perdebatan tentang nilai artistik dari karya yang dihasilkan oleh AI. Beberapa kritikus berargumen bahwa seni harus mencerminkan emosi dan pengalaman manusia yang mendalam, sesuatu yang sulit ditiru oleh mesin. Karya seni manusia sering kali memiliki konteks budaya, sejarah pribadi, dan perspektif emosional. Mereka mengkhawatirkan bahwa seni AI mungkin kurang memiliki "jiwa" dan kedalaman yang dihasilkan dari pengalaman manusia. Tantangan dan kontroversi lain adalah soal hak cipta dan kepemilikan. Pertanyaan tentang siapa yang memiliki hak cipta atas karya seni yang dihasilkan oleh AI juga menjadi topik kontroversial. Apakah hak cipta tersebut milik seniman yang mengembangkan dan melatih AI, programer yang membuat algoritma, atau AI itu sendiri? Isu lain menyangkut ketergantungan pada teknologi. Beberapa seniman khawatir bahwa ketergantungan pada teknologi AI dapat mengurangi keterampilan tradisional dan kreativitas manual dalam seni lukis. Ada kekhawatiran bahwa AI dapat mengambil alih peran seniman manusia dalam beberapa konteks, terutama dalam produksi seni komersial. Meski dengan berbagai kontroversi itu, lukisan AI tampaknya makin mendapat penerimaan di luar negeri, meski masih terus mengalami resistensi. Karya seni yang dihasilkan oleh AI telah mendapatkan pengakuan di dunia seni. Pengakuan Terhadap Karya Seni AI Misalnya, potret "Edmond de Belamy" yang dibuat oleh kolektif seni Obvious menggunakan AI, terjual di lelang Christie’s seharga $432.500 pada tahun 2018. Hal ini menandai salah satu pengakuan resmi pertama dari seni AI dalam pasar seni tradisional. Beberapa galeri dan museum telah memamerkan karya seni yang dibuat dengan bantuan AI. Pameran seperti "Unhuman: Art in the Age of AI" menampilkan karya-karya seniman yang menggunakan AI, menunjukkan penerimaan institusional terhadap seni AI. Hal ini menantang konsep tradisional tentang apa itu seni dan siapa yang dapat menciptakannya. Banyak seniman yang memanfaatkan AI sebagai alat kreatif untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan memperluas batasan-batasan seni tradisional. Seniman seperti Mario Klingemann dan Refik Anadol menggunakan AI untuk menciptakan karya yang diakui secara luas dalam komunitas seni kontemporer. Mario Klingemann, yang lahir tahun 1970 di Laatzen, Lower Saxony, adalah seniman Jerman terkenal yang menggunakan artificial intelligence (AI) sebagai alat utama dalam karya seninya. Dia dikenal karena eksperimen kreatifnya dengan algoritma dan jaringan saraf tiruan, untuk menghasilkan karya seni yang menantang batas-batas tradisional. Klingemann sering menggunakan Generative Adversarial Networks (GANs), sebuah teknik AI yang melibatkan dua jaringan saraf yang saling bersaing—generator dan discriminator. Generator menciptakan gambar baru, sementara discriminator menilai apakah gambar tersebut nyata atau buatan. Dengan melatih GAN pada dataset gambar yang sangat besar, Klingemann dapat menghasilkan karya seni yang unik dan kompleks. Algoritma ini memungkinkan penciptaan gambar yang menggabungkan elemen-elemen dari berbagai sumber, menciptakan sesuatu yang baru dan sering kali mengejutkan. Karyanya melibatkan jaringan saraf, kode, dan algoritma. Klingemann adalah penghuni Google Seni dan Budaya dari tahun 2016 hingga 2018. Dia dianggap sebagai pionir dalam penggunaan pembelajaran komputer dalam seni. Pada 2018, karyanya The Butcher's Son memenangkan Lumen Prize Gold Award 2018 dengan bekerja dengan masukan visual figuratif. Bekerja sama dengan ONKAOS, Klingemann telah menciptakan karya seperti Memories of Passerby I, karya pertama yang dibuat dengan AI yang dilelang di Sotheby's pada 2019. Pada 2020, Mario Klingemann memenangkan Penghargaan Kehormatan di Prix Ars Electronica dengan instalasi AI miliknya. Karya-karyanya mengkaji kreativitas, budaya, dan persepsi melalui pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan, dan telah muncul di Ars Electronica Festival, Museum of Modern Art New York, Metropolitan Museum of Art New York, Photographers' Gallery London, Centre Pompidou Paris, dan Perpustakaan Inggris. Klingemann cuma salah satu contoh. Tampaknya akan makin banyak seniman atau pelukis yang memanfaatkan AI dalam penciptaan karyanya. AI telah membawa perubahan besar dalam dunia seni lukis, membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi ekspresi artistik dan kolaborasi antara manusia dan mesin. AI memang memiliki potensi untuk mengubah lanskap profesi pelukis, tetapi tidak harus dilihat sebagai ancaman langsung. Sebaliknya, AI dapat dilihat sebagai alat yang dapat digunakan untuk memperluas kemampuan kreatif dan membuka peluang baru. Pelukis yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan teknologi AI mungkin menemukan cara baru untuk berkembang dalam profesi mereka. Pada saat yang sama, nilai-nilai keaslian, kreativitas manusia, dan emosi dalam seni tetap menjadi faktor penting yang sulit digantikan oleh mesin. Bagaimanapun, tantangan etis dan filosofis tentang peran seniman dan sifat seni itu sendiri akan tetap ada. Masa depan seni lukis dengan AI tampaknya akan terus berkembang, seiring kemajuan teknologi dan adaptasi oleh komunitas seni. Dalam hal ini, kita patut mengapresiasi Denny JA yang telah merintis, melakukan eksperimen, dan eksplorasi penggunaan AI dalam dunia seni lukis. Apakah lukisan-lukisan karya Denny yang berbasis AI ini akan mendapat penerimaan meluas dari publik dan komunitas seni lukis Indonesia? Kita tunggu saja. Yang jelas, tanpa menunggu reaksi publik, Denny tampaknya akan terus berkarya. *** *Satrio Arismunandar adalah Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, wartawan senior, dan penikmat lukisan-lukisan surealistik.