Catatan Denny JA: Sentimen Nasionalisme di Era Algoritma
- Penulis : Imron Fauzi
- Jumat, 17 Januari 2025 10:34 WIB
Pengantar Buku 60 Esai Hasil Lomba
BISNISABC.COM - “Setiap generasi menemukan makna nasionalisme dalam cermin zamannya.”
Dulu, nasionalisme berakar pada tanah, bahasa, dan sejarah. Ia hidup dalam cerita para leluhur, dalam nyanyian perjuangan, dalam kenangan tentang tanah yang dipertahankan dengan darah.
Baca Juga: Hilangnya Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden Menurut Analisis Denny JA
Namun kini, dunia kita telah berubah. Era algoritma menghadirkan tantangan baru. Identitas yang dulunya terpahat pada tradisi kini tersusun dalam jaringan digital yang tak mengenal batas.
Di tengah perubahan ini, muncul pertanyaan mendalam: bagaimana kita memahami nasionalisme dalam ruang tanpa sekat, di mana pixel dan sinyal menjadi medium utama interaksi manusia?
Batas-batas fisik, yang dulu membedakan kita sebagai bangsa, mulai mencair. Seorang pemuda Indonesia mungkin lebih akrab dengan budaya pop Korea daripada tradisi lokalnya sendiri.
Baca Juga: Perbedaan Vasektomi dan Kebiri: Prosedur dan Dampaknya pada Kesehatan Pria
Namun, ini bukan berarti nasionalisme mati. Ia hanya bermutasi. Nasionalisme, seperti kehidupan itu sendiri, mencari cara untuk bertahan.
Nasionalisme di era algoritma adalah tentang kesadaran. Ia bukan lagi hanya soal mempertahankan batas fisik, tetapi tentang menemukan akar di tengah arus globalisasi.
Di balik layar ponsel dan algoritma yang terus memetakan perilaku kita, ada bisikan halus yang mengingatkan: “Kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.”
Baca Juga: Sri Mulyani Bahas Program Makan Bergizi Gratis dengan Gates Foundation untuk Atasi Stunting
Seperti yang digambarkan dalam puisi esai saya (Denny JA), seorang pemuda bernama Darta bertanya, “Apakah arti tanah air di zaman ini?” Dalam dunia digital yang tanpa batas, ia merasakan kebingungan, namun juga keajaiban: bahwa meski dunia meluas, cinta pada tanah air tetap tumbuh.