Catatan Denny JA: Derita Rakyat Akibat Rusaknya Lingkungan Hidup di Dalam Puisi Esai
- Senin, 13 Januari 2025 19:26 WIB
Pesannya adalah seruan untuk keadilan lingkungan dan solidaritas. Isbedy menyoroti bagaimana kerakusan manusia terhadap alam bisa menimbulkan konflik yang merusak nilai-nilai kemanusiaan.
“bagaikan luka tanah ini
oleh penggalian tambang; dibiarkan
menganga, menabung bencana
sedikit demi sedikit. sampai bom waktu:
Dorr!”
Sedangkan pada puisi esai “Wadas, Apakah Kita Satu Tanah Air?” Isbedy mengekspresikan suara perlawanan warga Desa Wadas terhadap ketidakadilan, eksploitasi tanah, dan kekerasan aparat.
Baca Juga: Kementerian Keuangan Tegaskan PPN Transaksi QRIS Ditanggung Pedagang, Bukan Konsumen
Melalui narasi reflektif dan protes, puisi ini mengkritik keras bagaimana pemerintah dan pemegang kekuasaan melupakan prinsip-prinsip kemanusiaan, permusyawaratan, dan keseimbangan lingkungan demi proyek pembangunan.
Pesannya sederhana tetapi mendalam. Ini perjuangan atas tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal martabat, warisan, dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
“kami menolak tanah kami dibeli
sebab tahu risikonya nanti
28 titik sumber mata air mati
lalu, tetumbuhan akan kering dan lelayu”
Baca Juga: 5 Rekomendasi HP Oppo 5G yang Punya Spesifikasi Gahar dan Cocok Buat Gaming
Lain lagi dengan puisi esai: “Air Mata Duka di Lumbung Batubara.” Puisi ini adalah elegi terhadap ketidakadilan dan pengorbanan seorang guru, Ansah, yang berjuang melawan keserakahan pengusaha tambang batubara.
Ansah menjadi simbol perjuangan rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kekuasaan dan kapitalisme. Pesan utamanya adalah pentingnya keberanian melawan kesewenang-wenangan demi keadilan sosial, meskipun perjuangan tersebut dapat berujung tragis.
“Langit jadi kelam
para bodyguard kepal tangan
hari itu 9 Februari 2004, suaminya dibantai.”
Baca Juga: Oppo Reno13 Series Segera Rilis: Inovasi Desain dan Teknologi Terbaru di Awal 2025
-000-