Catatan Denny JA: Renungan Sumpah Pemuda, Warna Nasionalisme di Era Algoritma
- Penulis : Imron Fauzi
- Senin, 28 Oktober 2024 09:38 WIB
BISNISABC.COM - “Nasionalisme, dulu sebuah warna yang menyatukan, kini adalah mozaik digital, dipengaruhi konten yang kita lihat dan suara yang kita dengar.”
Kutipan ini merangkum kenyataan era baru. Dulu, nasionalisme adalah warna tunggal. Kokoh, satu, dan menyatukan kita sebagai bangsa.
Kini, di era algoritma, ia berubah. Nasionalisme bukan lagi kesatuan yang jelas. Identitas kebangsaan kita terbagi-bagi, dipengaruhi konten yang kita konsumsi.
Baca Juga: Menko Perekonomian Sebut Pemerintah Dorong Pengembangan Bioavtur
Warna nasionalisme kita adalah mozaik, refleksi dari ruang gema yang kita tinggali.
Di masa lalu, nasionalisme adalah satu semangat. Ia tumbuh dari rasa kebersamaan dalam perjuangan. Para pahlawan kita menciptakan identitas kebangsaan yang menyatukan. Seperti akar pohon yang dalam, nasionalisme memberi kekuatan.
Indonesia adalah satu, sebuah bangsa yang terikat oleh sejarah dan cita-cita kemerdekaan.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Indonesia Pelopor Diskusi Perubahan Iklim dari Perspektif Ekonomi dan Keuangan
Namun, era algoritma mengubah segalanya. Algoritma menciptakan realitas bagi setiap orang. Di media sosial, kita hanya melihat konten sesuai minat kita.
Algoritma memilih informasi yang cocok dengan pandangan kita. Sehingga, kita terjebak dalam ruang gema, di mana hanya suara yang serupa yang terdengar.
Ruang gema ini memecah kesatuan nasionalisme. Kita tidak lagi memiliki satu pandangan kebangsaan yang sama.
Baca Juga: Pemenang Lomba Swafoto
Kini, identitas kebangsaan kita terpecah dalam warna yang berbeda-beda. Nasionalisme kita menjadi personal, bergantung pada konten yang kita lihat. Algoritma menjadi pengarah, menciptakan perbedaan yang tak terlihat, tetapi terasa.
-000-
Contoh Warna-Warna Nasionalisme yang Beragam
Baca Juga: Udara Jakarta Gawat! Polusi Udara Bisa Bikin Sakit Parah, Ini Faktanya
Nasionalisme dulu adalah sungai besar, aliran yang menyatukan. Sekarang, ia lebih mirip riak air di kolam-kolam kecil.
Setiap kolam adalah ruang gema digital. Setiap individu memiliki warna nasionalisme sendiri. Ini tercipta dari konten yang disarankan algoritma.
Seorang remaja mungkin melihat nasionalisme sebagai keterbukaan. Ia terpapar budaya luar dan isu global.
Ia merasa bagian dari dunia, bukan hanya satu bangsa.
Baca Juga: Cara Temukan Pasangan Ideal dengan Komunikasi, Tips Anti Gagal dari Raditya Dika
Di sisi lain, seorang ibu rumah tangga di desa mungkin melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang konservatif. Algoritma mengarahkan kontennya pada tradisi dan agama. Baginya, nasionalisme adalah menjaga norma lokal, bukan mengikuti tren global.
Lalu ada pengusaha muda di kota besar. Nasionalisme baginya adalah ekonomi digital. Ia melihat peluang global dan ingin negaranya maju. Algoritma menampilkan konten yang menginspirasi pencapaian ekonomi. Baginya, nasionalisme adalah soal daya saing.
Setiap orang hidup di ruang gema masing-masing. Setiap orang memiliki warna nasionalisme yang berbeda.
Baca Juga: Perum Bulog NTT Gelar Pasar Murah di Desa Oinlasi
-000-
Sejak lahirnya, nasionalisme selalu berkembang. Pada abad ke-18, ia lahir di Eropa sebagai respons terhadap penjajahan. Di Indonesia, nasionalisme adalah perlawanan.
Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara berjuang demi kemerdekaan. Mereka menciptakan identitas kebangsaan yang kokoh.
Baca Juga: Pemprov NTB Optimalkan UMKM untuk Kendalikan Deflasi
Namun, globalisasi membawa perubahan. Nasionalisme mulai terbuka pada pengaruh asing. Menjadi bagian bangsa bukan berarti menolak dunia luar.
Nasionalisme berkembang menjadi semangat yang menyerap nilai-nilai baru. Identitas kebangsaan Indonesia menjadi campuran, tradisi dan modernitas.
Kini, di era algoritma, nasionalisme mengalami babak baru. Identitas kebangsaan tidak lagi tercipta melalui sejarah atau pendidikan. Ia terbentuk oleh layar digital dan konten.
Baca Juga: Positifnya Respons Pasar Asing Terhadap Potensi Kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan
Generasi baru membangun kebangsaan mereka dari realitas yang dibentuk algoritma. Nasionalisme menjadi lebih fleksibel, tetapi juga lebih rentan.
-000-
Menjaga Nasionalisme di Era Algoritma
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jokowi dan Prabowo, Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Menghadapi era algoritma, setiap individu harus siap dan disiapkan. Jangan sampai terjadi Algoritma menjadi tuan dan individu budaknya.
Kita butuh literasi digital yang mendalam. Masyarakat perlu menyadari dan memilih pengaruh algoritma pada identitas mereka.
Di negara-negara maju, literasi digital menjadi prioritas. Masyarakat diajarkan untuk berpikir kritis, menyaring informasi yang mereka konsumsi, sejak di sekolah.
Baca Juga: Penyaluran KUR di Bengkulu Mencapai Rp2,70 Triliun untuk 38.681 Debitur
Selain itu, transparansi algoritma sangat penting. Platform digital perlu terbuka soal bagaimana informasi dipilih. Hal ini mengurangi manipulasi informasi yang tak disadari.
Warna nasionalisme setiap individu jangan ditentukan algoritma semata.
Empat tahun lagi, Sumpah Pemuda genap berusia seabad. Seperti nyala obor yang terus menyala, nasionalisme yang dulu membara kini berhadapan dengan angin zaman yang berbeda.
Bukan penjajah yang mengubahnya, tapi kehadiran penguasa tak terlihat - algoritma yang menentukan apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan.
Jakarta, 28 Oktober 2024.***