Pemerintah Nilai Deflasi yang Terjadi Selama 3 Bulan Berturut-turut Masih Sesuai Sasaran
- Penulis : Imron Fauzi
- Minggu, 11 Agustus 2024 19:04 WIB
BISNISABC.COM - Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, menilai bahwa deflasi yang terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut masih berada dalam batas aman dan sesuai dengan target pemerintah.
Menurut Ferry, deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan harga pangan yang bergejolak (volatile food), yang turun sebesar 1,92 persen secara bulanan (mtm) dan tercatat sebesar 3,63 persen secara tahunan (yoy).
"Jadi, apa yang terjadi saat ini masih sesuai dengan perencanaan kami. Kami menargetkan inflasi pada kisaran 2,5 persen plus minus 1 persen, dengan harapan volatile food maksimal 5 persen. Jika terlalu tinggi, tidak baik untuk konsumen, tetapi jika terlalu rendah, bisa berdampak negatif pada produksi. Saat ini, dari 10 persen pada bulan Maret, angkanya turun menjadi sekitar 3 persen, dan kami berharap bisa terus menjaga ini," kata Ferry.
Baca Juga: BKKBN Sarankan Konsumsi Tablet Tambah Darah Jika Haid Lebih dari Tujuh Hari
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa deflasi pada Juli 2024 lebih dalam, mencapai minus 0,18 persen (mtm), dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat minus 0,08 persen (mtm). Sementara itu, inflasi tahunan tercatat sebesar 2,13 persen (yoy).
Meski begitu, Ferry menyatakan bahwa tingkat inflasi Indonesia hingga kuartal II tahun ini secara keseluruhan masih dalam rentang yang ditargetkan, namun tetap perlu diawasi. Jika inflasi terlalu tinggi, konsumen akan terdampak, tetapi jika terlalu rendah, produsen yang akan terkena imbas.
Pemerintah menargetkan inflasi Indonesia pada tahun ini sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen.
Baca Juga: Sesuaikan Kebutuhan Konsumen Indonesia, Suzuki Tawarkan Mobil Hybrid
"Saat ini inflasi masih sesuai dengan target, yaitu 2,5 persen, namun dengan komponen volatile food yang ditoleransi plus minus 1 persen. Selama masih dalam rentang tersebut, artinya keseimbangan antara produsen dan konsumen masih terjaga. Jika melampaui target, maka perlu diwaspadai dan dipertanyakan," jelas Ferry.
Sebelumnya, Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, menilai bahwa deflasi pada Juli 2024 perlu diperhatikan dengan serius.
"Deflasi yang terjadi belakangan ini harus dicermati dengan baik. Ini bukan kejadian yang terjadi begitu saja, tetapi merupakan hasil dari pengelolaan ekonomi yang kurang memadai. Deflasi ini merupakan penurunan harga umum barang dan jasa, yang terlihat menguntungkan masyarakat," kata Didik di Jakarta, Jumat (2/8).
Baca Juga: Jaga Stabilitas Harga, Babel Tambah Pasokan 307,4 Ton Minyak Goreng
Namun, Didik juga menganggap bahwa deflasi ini menunjukkan bahwa masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga daya beli mereka menurun.
Ia mengingatkan bahwa jika tidak disertai dengan kebijakan makro dan riil yang tepat, deflasi pada Juli 2024 dapat menimbulkan dampak negatif yang luas bagi perekonomian, karena hal ini mencerminkan penurunan pengeluaran konsumsi masyarakat.
"Tanda yang sudah terlihat jelas adalah penurunan pengeluaran konsumsi. Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena pendapatan yang terbatas dan tingkat pengangguran yang tinggi," ujar Didik.***