Keniscayaan Perubahan Hukum

Perubahan hukum adalah keniscayaan sejarah. Sebuah kaidah hukum menyatakan:

‎تغيّر الفتوى واختلافِها بحسب تغيّر الأزمنة والأمكنة والأحوال والنّيّات والعوائد

Baca Juga: Podcast Meghan Markle Tidak Akan Dilanjutkan karena Kesepakatannya dengan Spotify Berakhir

"Perubahan fatwa dan perbedaannya tergantung pada perbedaan/perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, motif, dan tradisi." (Ibn Qayyim, I'lam al Muwaqqi'in 'an Rabb al 'Alamin, vol. III, hlm. 3).

Perlu disampaikan bahwa perubahan hukum dalam al-Qur'an atau hadits Nabi tidaklah berarti mengubah hukum Tuhan, sepanjang sejalan dengan tujuan hukum, yaitu kemaslahatan, kepentingan publik luas.

Di tempat lain Ibn al Qayyim menegaskan:

Baca Juga: PLN Gandeng ACWA Power & Pupuk Indonesia Kembangkan Hidrogen-Amonia Hijau

‎الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد، وهي عدل كلها ومصالح كلها وحكم كلها فَكل مَسْأَلَة خرجت عَن الْعدْل إِلَى الْجور، وَعَن الرَّحْمَة إِلَى ضدها، وَعَن الْمصلحَة إِلَى الْمفْسدَة، وَعَن الْحِكْمَة إِلَى الْعَبَث فليستْ من الشَّرِيعَة، وإنْ أُدخلتْ فِيهَا بالتأويل (إعلام الموقعين: )3/1).

Hukum Islam dibangun dan didasarkan pada kebijaksanaan dan kepentingan para manusia di dunia dan akhirat, dan itu semua adil, semua maslahat, dan semua bijaksana. 

Maka setiap keputusan hukum yang keluar dari keadilan menjadi menyimpang, dari kasih menjadi tidak kasih, dari maslahah menjadi kerusakan dan dari bijaksana menjadi sia-sia, maka bukanlah hukum Tuhan. (I'lam al- Muwaqqi'in: 3/1).

Baca Juga: Tekan Laju Inflasi, Pemprov Bengkulu Gelar Pasar Murah di Sembilan Lokasi

Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w.1285 M), tokoh besar dalam mazhab Maliki, dalam bukunya yang terkenal “al-Furuq”, mengatakan: