Yang Bukan Kritikus Seni Rupa Boleh Ambil Bagian: Sebuah Pengantar Buku Pameran Lukisan Bantuan AI dari Denny JA
- Penulis : Imron Fauzi
- Rabu, 24 Juli 2024 09:05 WIB
BISNISABC.COM - Datangnya era artificial intelligence memungkinkan itu. Kreator yang memamerkan lukisannya bukanlah pelukis profesional, yang dikenal memiliki tradisi panjang di dunia lukisan. Pengulas pameran lukisan itu bukan pula kritikus seni rupa.
Memang, dua puluh lima penulis ini bukanlah kritikus seni rupa profesional. Mereka tidak belajar teori seni rupa, dan bukan pula yang berprofesi sebagai pelukis.
Mereka adalah sastrawan, penulis kolom, wartawan, aktivis keberagaman agama, ahli hukum, dan pengajar. Mereka melihat pameran lukisan, lalu menuliskan pengalamannya.
Baca Juga: BNI luncurkan kartu TapCash desain khusus NCT 127
Lukisan yang mereka nikmati bukan pula lukisan biasa. Itu 186 lukisan karya seorang konsultan politik, saya sendiri, yang dibantu oleh asisten artificial intelligence.
Ruang pameran pun bukanlah Taman Ismail Marzuki atau galeri pada umumnya. Tempat memajang lukisan hanyalah dinding kosong sebuah hotel 6 lantai di jalan Mahakam, Jakarta, yang kemudian disulap menjadi galeri.
Di situlah uniknya. Ini era ketika terjadi demokratisasi seni rupa. Akibat kehadiran artificial intelligence, yang bukan pelukis profesional pun bisa menumpahkan gejolak batin dan visinya ke dalam kanvas.
Baca Juga: Podcast Meghan Markle Tidak Akan Dilanjutkan karena Kesepakatannya dengan Spotify Berakhir
Yang bukan kritikus seni rupa pun bisa mengekspresikan pengalamannya, tidak dengan teori seni rupa, tapi sisi human interest, kesan personal atas lukisan. Artificial intelligence pun bisa mereka gunakan untuk menambah bobot tulisan.
-000-
Membaca ulasan seni rupa 25 penulis ini, saya teringat review Amelia Brown. Saat itu ia menghadiri dan menikmati pameran “Whitney Biennial 2017" di Whitney Museum of America. (1)
Baca Juga: Jaga Stabilitas Pasokan Pangan, Pemprov Malut Gelar Program Kedai Panganmu
Amelia Brown, seorang penulis yang tidak memiliki latar belakang kritikus seni. Ia mengunjungi Whitney Biennial 2017 di New York dan menulis ulasan berdasarkan pengalamannya pribadi.
Tulisnya: “Saya mengunjungi Whitney Biennial 2017 di Whitney Museum of American Art dengan harapan menemukan perspektif baru tentang dunia seni kontemporer. Pameran ini penuh dengan karya-karya yang beragam, mulai dari instalasi hingga seni performatif.
“Meskipun saya bukan ahli seni, beberapa karya berhasil membuat saya merenung tentang isu-isu sosial dan politik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.”
Baca Juga: IHSG Rabu Sore Ditutup Melemah di Tengah Optimisme Pemangkasan Bunga The Federal Reserve
“Salah satu karya yang paling berkesan adalah "Repellent Fence.” Instalasi ini menampilkan pagar besar yang melintasi perbatasan AS-Meksiko, menciptakan visual yang kuat tentang pemisahan dan koneksi antara dua negara.”
“Karya ini memaksa saya untuk berpikir lebih dalam tentang isu imigrasi dan identitas.”
“Karya lain yang menarik perhatian saya adalah "Ramps" oleh Park McArthur. Perupa ini menggunakan ramp sebagai patung untuk mengeksplorasi isu-isu disabilitas dan aksesibilitas. “
Baca Juga: Kemendag Sebut Satgas yang Atasi Impor Ilegal Hanya Berlaku Setahun Lalu Dievaluasi
“Ramps adalah jalur sirkulasi yang memiliki kemiringan, dan biasanya digunakan sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga.”
“Instalasi ini mengingatkan saya betapa pentingnya membuat desain untuk semua orang, termasuk yang hanya bisa lewat Ramps saja. Seni dapat mengangkat isu-isu yang sering kali terabaikan.”
-000-
Baca Juga: Amankan Jalur, Jasamarga Lakukan Evakuasi Kendaraan Terbakar di Tol MBZ
Mengapa ulasan Amelia Brown, dan juga 25 penulis di buku ini tetap menarik dibaca, walau mereka bukan ahli seni rupa? Empat hal ini bisa menjadi panduan.
1. Personalisasi Pengalaman
Mengaitkan karya seni dengan pengalaman pribadi atau perasaan dapat membuat ulasan lebih dimengerti dan menarik bagi pembaca. Pola ini paling banyak diekspresikan dalam ulasan di buku ini.
Baca Juga: Pemain Australia Jadi Top Skor Sementara di Piala AFF U-19, Jake Najdovski Sebut Itu Hanya Bonus
Mengulas aneka lukisan soal COVID-19, ada yang menghubungkan lukisan itu dengan pengalamannya hampir mati ketika menjadi korban virus itu.
“Sungguh mengerikan! Aku merinding, ingat masa-masa yang kritis dalam hidupku, antara hidup dan mati, saat melihat lukisan-lukisan tragedi pandemi COVID-19 di lantai dua Mahakam 24 Residence, Blok M, Jakarta.
Betapa tidak, saat itu Juni 2021, aku, istri, dan keempat anakku, semuanya terkena gigitan virus COVID-19. Aku yang paling parah. Seluruh tubuhku seperti dicincang. Sakit sekali.
Baca Juga: Usai Bungkam LavAni, Jakarta Bhayangkara Presisi Juara Proliga 2024
Aku pasrah. Saat itu aku mengadu, "Tuhan, aku sudah siap jika Engkau ambil nyawaku, daripada sakit luar biasa diterkam virus Corona."
“Gambaran seperti itulah yang terbayang dalam benakku ketika menyaksikan puluhan lukisan Denny JA (DJA) yang berada di lantai dua Mahakam.”
“Dengan bantuan AI (Artificial Intelligence), DJA berhasil "membetot kenangan" munculnya tragedi terbesar abad 21, pandemi COVID-19, yang membunuh ratusan ribu --bahkan jutaan manusia -- di seluruh dunia.” (Saefudin Simon)
Atau ketika melihat lukisan soal imajinasi anak-anak, ada yang menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri ketika masa kanak-kanak.
“Dan lukisan AI karya Denny jelas menyajikan dunia anak dengan segala imajinasi, keceriaan dan kepolosan mereka.
Terus terang aku langsung teringat dengan masa kecilku yang kurang lebih sama: asyik dengan imajinasi dan mimpi. Aku pernah membayangkan mengendarai kuda sembrani bertanduk, dengan warna pelangi.
“Kuda itu bisa berbicara dan terbang membawaku ke angkasa. Aku terbang di antara awan-awan, mengunjungi istana yang dasarnya bukan tanah, tapi awan. Lalu bertemu bidadari dan menyapa peri-peri mungil. Kami berteriak bersama, girang segirang-girangnya.” (Swary Utami)
Atau ketika melihat lukisan Jakarta tempo dulu, ia menceritakan pengalaman melihat patung itu di masa lalu.
“Ada tiga lukisan yang membekas dalam hati saya. Pertama, lukisan patung Dirgantara dan gerobak roti pada Jakarta yang masih sepi. Lukisan ini membangkitkan ingatan saya pada tahun 1970, ketika saya kanak-kanak. Kami tinggal di daerah Dukuh Atas.”
“Jika hendak ke Pasar Minggu membeli buah, kami naik oplet. Di persimpangan Pancoran, saya selalu terkagum-kagum melihat patung orang terbang di langit. Saya berpikir apakah jika helicak diberi baling-baling, bisa terbang ke dekat patung itu?” (Fatin Hamamah)
2. Penjelasan Konteks dan Latar Belakang
Memberikan informasi tentang latar belakang seniman, periode seni, atau konteks sosial dan budaya dari karya seni bisa memberikan kedalaman tambahan pada ulasan.
Ini membantu pembaca memahami lebih baik makna dan signifikansi dari karya tersebut.
Ketika melihat lukisan soal Fernando Botero di pameran lukisan Denny JA, ia mengisahkan pengalaman pribadinya dengan lukisan asli sang pelukis di negara lain.
“Di sini, saya teringat pada Botero tadi. Saya pertama kali jatuh hati pada karya Botero yang khas, yaitu proporsi tubuh dan bentuk yang bervolume saat melihat langsung karya-karyanya di Museo Botero di Kawasan La Candelaria, di jantung Kota Bogotá, Kolombia tahun 2015 silam.”
“Saat itu, saya sedang mengikuti short course di Universidad Externado de Colombia melalui program ELE Focalae atau Foreign Language Focalae initiative.”
“Seperti saya sebut di atas, saya juga tertarik pada Botero tentang sudut pandangan tentang lukisan yang tidak umum. Dia mempunyai kutipan yang terkenal: “Art was created to give a pleasure”. (Amelia Fitriani)
Ketika melihat lukisan soal derita anak-anak Palestina di Gaza, ada yang memberikan konteks data lukisan itu.
“Ya, lukisan itu mewakili realitas tragedi kemanusiaan yang paling memilukan saat ini. Bisa dibayangkan, dalam 8 bulan penyerangan Israel ke Gaza, Rafah, dan sekitarnya, kantor berita WAFA Agency Palestina melaporkan jumlah korban yang fantastis: 37.084 orang tewas, dan 84.494 orang luka-luka.
Publik luas telah menyebut operasi pembantaian yang dilakukan Israel ini sebagai genosida. Dan Israel bergeming. Di hari warga Palestina merayakan Idul Adha sekali pun, pasukan Israel juga melancarkan serangan udara di lingkungan Tel al-Sultan di Rafah.
Dalam liputannya, Tempo bahkan menyebutkan, selama 8 bulan operasinya, Israel telah menjatuhkan 70 ribu ton bom di Jalur Gaza, atau jauh melampaui gabungan jumlah bom yang digunakan di Dresden, Hamburg, dan London selama Perang Dunia II.”
“Menurut berbagai perkiraan, termasuk arsip dari New York Times, selama Perang Dunia II berlangsung, Jerman membom London dengan menjatuhkan sekitar 18.300 ton bom antara tahun 1940 dan 1941.”
“Sedangkan Hendrik Althoff, seorang peneliti di Departemen Sejarah di Universitas Hamburg mengatakan sekutu menjatuhkan 8.500 ton bom di Hamburg pada musim panas 1943. Sekutu juga menggunakan 3.900 ton bom di Dresden pada Februari 1945 berdasarkan catatan sejarah.” (Anick HT)
3. Deskripsi Visual yang Mendetail
Menggambarkan detail visual karya seni dengan cara yang vivid dan deskriptif membantu pembaca yang mungkin belum melihat karya tersebut merasakan keindahan dan kompleksitasnya.
Lukisan serial tema Lailatul Qadar, ada yang menguraikannya seperti ini:
“Contohnya tema “Lailatul Qadar” yang terdiri dari belasan lukisan dalam berbagai ukuran kanvas dan bauran visual.”
“Komposisi lukisan bersifat tipikal dengan separuh bagian atas menggambarkan kondisi langit malam dalam format aneka bentuk garis, kurva, dan warna. Sedangkan separuh bagian bawah menampilkan manusia dalam berbagai jumlah dan posisi.”
“Kadang seorang, kadang banyak. Kadang lelaki, kadang perempuan. Semua dalam posisi berdoa. Khusyuk.
“Dengan membuat serial lukisan bertema ini, Denny JA bukan saja sedang meletakkan hati dan kerinduan spiritualnya ke atas kanvas, juga seakan hendak melengkapi Teori Kebutuhan Dasar ( Hierarchy of Needs) dari Abraham Maslow.”
“Bahwa manusia tak cukup hanya ditopang dengan kebutuhan fisiologis ( physiological needs), kebutuhan keamanan ( safety needs), kebutuhan sosial ( social needs), kebutuhan ego ( egoistic needs) dan kebutuhan aktualisasi diri ( self-actualization needs). Manusia juga perlu kebutuhan keyakinan ( spiritual needs) secara mutlak, terlepas dari tingkat aktualisasi diri yang sudah diraihnya.” (Akmal Nasery Basral)
Ketika melihat lukisan wajah yang tak terlalu detil, ada komentar ini:
“Yang menarik, kualitas ketajaman wajah pada lukisan itu berbeda-beda. Ada yang detailnya muncul. Karakter wajah jadi tebal. Ada pula tidak banyak garis di muka.”
“Wajah Ibu Teresa, di beberapa lukisan di sini, banyak ragamnya. Bahkan wajah pelukis Affandi, yang memiliki gaya aut-autannya, detailnya juga hilang.”
“Tentu saja hal ini disengaja oleh Denny. Sebab aplikasi AI sebenarnya mampu mengeluarkan detail wajah seseorang. Tapi Denny tidak melakukannya, atau tidak memilih aplikasi berintelejen untuk mengeluarkan guratan wajah seseorang.”
“Saya menduga, lukisan Denny JA di Mahakam 24 Residence ini tidak ditekankan pada detail wajah atau obyek lain di lukisan itu. Denny lebih mengutamakan pada pesan yang ingin disampaikannya melalui rangkaian gambar yang dipilihnya.”
“Misalnya, Denny mengkontraskan wajah Presiden Amerika Serikat pertama dengan Presiden AS di masa depan, berupa wajah robot. Titipan pesan yang dikatakan: seorang Presiden di masa depan bisa jadi berupa unit robot pintar.”
“Kepemimpinan di masa itu tidak perlu lagi melihat ideologi, atau partai, atau kepopuleran seorang tokoh. Yang penting adalah efektivitas pemimpin membuat kebijakan publik, yang bermanfaat untuk semua pihak di negara itu, dan negara menjadi makmur.”
4. Mengajukan Pertanyaan dan Mengundang Diskusi
Mengajukan pertanyaan retoris atau mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang elemen-elemen karya seni bisa memicu refleksi dan diskusi, membuat ulasan lebih interaktif.
Ketika melihat lukisan seorang ibu menggendong bayi, tapi itu bayi robot dengan artificial intelligence, ia membahasnya seperti ini:
“Kevin bertanya kepada sang Ibu, 'Tidakkah kamu takut bahwa bayi AI kamu, suatu saat akan mengkhianati kamu, dan malah mengambil alih kontrol atas umat manusia?' dan Ibu itu hanya tersenyum.”
“Kemudian, Einstein bergabung dalam diskusi. Dia mengutip Sam Harris, seorang filsuf dan ahli neurosains Amerika, yang menyatakan bahwa persepsi AI terhadap kemanusiaan mungkin mencerminkan pandangan kita sendiri terhadap makhluk yang lebih rendah — bukan benci atau jahat tetapi acuh tak acuh terhadap keberadaan kita, seperti misalnya, kepada semut.”
“Potensi AI mencerminkan kesadaran dan nilai-nilai manusia itu sendiri.” (Monica JR).
Setelah merenungkan keseluruhan lukisan, dengan asisten Artificial Intelligence, ada yang mengajukan renungan:
“Pertanyaan yang muncul adalah apakah dunia seni lukis akan menjadi lebih bergairah karena kini orang bisa melukis dengan bantuan AI, seperti yang terjadi pada Denny JA?”
“Menurut saya, para pelukis yang sudah mapan, yang selama ini telah melukis dengan cara konvensional, mungkin merasa skeptis atau enggan untuk menggunakan AI sebagai alat bantu dalam proses kreatifnya.”
“Mereka telah mengembangkan keterampilan mereka selama bertahun-tahun, membangun hubungan yang intim antara diri para pelukis dan kanvas, mengungkapkan emosi, pengalaman, dan visi mereka melalui sentuhan kuas yang dipenuhi dengan perasaan.”
“Bagi banyak pelukis konvensional, proses melukis adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengalir dari hati dan jiwa. Mereka mungkin merasa bahwa penggunaan AI dalam proses kreatif dapat mengurangi keintiman dan keaslian dalam karya seni mereka.”
“Bagi mereka, keindahan seni tidak hanya terletak pada hasil akhir, tetapi juga pada perjalanan artistik yang mereka alami selama proses menciptakan.” (Elza Peldi Taher).
Pandangan lain yang juga mengajak merenung: “AI memang memiliki potensi untuk mengubah lanskap profesi pelukis, tetapi tidak harus dilihat sebagai ancaman langsung.”
“Sebaliknya, AI dapat dilihat sebagai alat yang dapat digunakan untuk memperluas kemampuan kreatif dan membuka peluang baru.”
“Pelukis yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan teknologi AI mungkin menemukan cara baru untuk berkembang dalam profesi mereka. Pada saat yang sama, nilai-nilai keaslian, kreativitas manusia, dan emosi dalam seni tetap menjadi faktor penting yang sulit digantikan oleh mesin.”
“Bagaimanapun, tantangan etis dan filosofis tentang peran seniman dan sifat seni itu sendiri akan tetap ada. Masa depan seni lukis dengan AI tampaknya akan terus berkembang, seiring kemajuan teknologi dan adaptasi oleh komunitas seni.”
“Dalam hal ini, kita patut mengapresiasi Denny JA yang telah merintis, melakukan eksperimen, dan eksplorasi penggunaan AI dalam dunia seni lukis. Apakah lukisan-lukisan karya Denny yang berbasis AI ini akan mendapat penerimaan meluas dari publik dan komunitas seni lukis Indonesia?”
“Kita tunggu saja. Yang jelas, tanpa menunggu reaksi publik, Denny tampaknya akan terus berkarya.” (Satrio Arismundar)
Banyak lagi ulasan penting dari penulis lain, seperti ulasan Budhy, Esthi, Halimah, Nazrina, Iwan, Ali, Nisak, Nia, Asrun, Anwar, Meutia, Nita, Isti dan Mila. Namun tak semuanya bisa ditampilkan karena keterbatasan halaman.
Elza Peldi Taher sebagai editor mampu merangkum keseluruhan review dari non- kritikus seni rupa itu dengan baik.
-000-
Review orang awam terhadap pameran lukisan tetap penting bagi pelukis dan pembaca lain.
Orang awam cenderung memberikan pandangan yang segar dan otentik. Mereka jujur dan tidak terpengaruh oleh teori seni yang kompleks.
Ini memberikan pelukis wawasan tentang bagaimana karyanya diterima oleh publik umum, yang seringkali lebih representatif dari audiens yang lebih luas dibandingkan dengan kritik profesional.
Perspektif segar ini juga dapat menginspirasi pelukis untuk melihat karya mereka dari sudut pandang baru.
Bagi pembaca lain, mengetahui bahwa orang awam bisa terhubung dengan seni memberikan keyakinan bahwa mereka juga bisa mengapresiasi dan menikmati seni tanpa harus menjadi ahli.*
Jakarta, 24 Juli 2024
CATATAN
(1) Tentang Whitney Biennial 2017 di [Artspace] (https://www.artspace.com/magazine/art_101/book_report/whitney-biennial-2017-can-it-match-1993s-legacy-54690)