Ia juga berguru kepada Syamsuddin at Tabriz, seorang ulama sufi dari Tabriz, Iran. Pertemuan mereka terjadi ketika Rumi sedang mengajar dan Syamsuddin datang dengan sebuah pertanyaan.

Sejak saat itu, Rumi akrab dengan Syamsuddin dan mulai menulis sajak-sajak indah yang mendunia, seperti Masnawi, Diwan Syamsi Tabris, Ruba’iyyat, dan Fihi Ma Fihi.

Sufi yang Memanusiakan Manusia

Baca Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Instruksikan Penerapan Efisiensi dan Inovasi untuk Transformasi Digital

Dalam pandangan filosofisnya, Jalaluddin Rumi mengajak manusia untuk hidup dalam cinta, menempatkan manusia sebagai pecinta dan yang dicinta.

Menurut Rumi, manusia adalah inti alam dan kumpulan sifat alam. Ia menulis dalam puisinya bahwa segala kesempurnaan dan keindahan manusia adalah pantulan sifat-sifat Allah, seperti cahaya bintang kejora yang memantul di air bening.

Rumi percaya bahwa cinta harus tumbuh dalam diri manusia, menjadi alat penggerak menuju cinta abadi.

Baca Juga: BPH Migas Pastikan Stok BBM Aman Menjelang Libur Natal dan Tahun Baru 2025

Cinta ini mengarah pada cinta hakiki kepada Tuhan. Jika manusia melihat orang lain sebagai manifestasi cinta kepada Tuhan, maka konflik dan kebencian tidak akan ada tempat.

Pandangan Rumi tentang cinta adalah komponen penting dalam memahami ajarannya. Ia mendorong setiap individu untuk mengenali fitrah dirinya sebagai manusia.

Rumi mengajarkan bahwa setiap manusia berhak atas pemahaman cinta yang sejati. Ilmu dan pemahaman ini ia ajarkan tidak hanya kepada murid-murid di sekolah, tetapi juga kepada khalayak umum.

Baca Juga: Petani Kopi Temanggung Raih Keuntungan Berlipat Berkat Harga Tinggi dan Hasil Panen Melimpah

Rumi menegaskan bahwa ekstase cinta adalah kunci kedekatan sejati dengan Tuhan. Hati yang dipenuhi cinta akan menghasilkan perbuatan baik.