DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Berziarah ke Borobudur, Denny JA Terhubung ke Masa Silam

image

BISNISABC.COM - “Borobudur bukan hanya sebuah candi. Ia juga arsip waktu dalam bentuk bangunan raksasa. Di sana kita bisa membaca masa silam yang tersimpan dalam batu-batu yang diam namun bercerita. Setiap relung dan setiap relief  menjadi lembaran sejarah yang menunggu untuk diungkapkan kembali.” 

Awal September 2024, saya memutuskan melakukan ziarah spiritual ke Borobudur. Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur bukan hanya sebuah monumen arkeologi; ia adalah tempat yang membawa kita berkelana melintasi zaman. 

Ketika saya berdiri di puncaknya, memandang ke luar, angin yang berhembus seolah menjadi mesin waktu, menerbangkan saya ke masa silam.  Tiba-tiba, saya merasa terhubung, tidak hanya dengan bangunan fisik ini, tetapi dengan sejarah yang telah menyelimutinya selama lebih dari seribu tahun.

Baca Juga: Podcast Meghan Markle Tidak Akan Dilanjutkan karena Kesepakatannya dengan Spotify Berakhir

Saya duduk bersila di dekat salah satu stupa, membiarkan keheningan merasuk dalam diri. Dalam keheningan itu, seakan datang sebuah kontak batin, yang membawa saya tenggelam dalam tiga masa silam Borobudur. 

Itu adalah masa penting yang tak kasat mata, tapi tersimpan dan jejak batu candi itu.

1. Era Thomas Stamford Raffles: Penemuan Kembali Borobudur (1814)

Baca Juga: Bakal Meluncur, Ini Model Motor Listrik ALVA Terbaru di GIIAS 2024

Tiba-tiba, saya melihat diri saya berada di tahun 1814. Borobudur saat itu sudah tertutup oleh hutan lebat, hampir terlupakan oleh masyarakat di sekitarnya. 

Namun, di tengah keheningan alam, datanglah H.C. Cornelius, seorang insinyur dan arkeolog amatir, yang mendengar desas-desus dari penduduk lokal. “Lapor bapak,   adan candi besar yang tersembunyi di bukit dekat desa Bumisegoro.”

Saya bisa melihat Cornelius bersama tim kecilnya berjuang membuka jalan menuju situs. Tapak itu tertutup oleh pepohonan besar dan tumbuhan liar. 

Baca Juga: Bagaimana Cara Membangun Personal Branding? Begini Penjelasan dari Caroline Castrillon

Mereka membawa golok dan kapak, memotong akar-akar yang membelit candi, sedikit demi sedikit membuka lapisan waktu yang telah menyembunyikan keajaiban arsitektur ini selama berabad-abad. 

Aha! Wow! Mereka menemukan relief-relief yang tertimbun tanah, patung-patung Buddha yang terkubur dalam sunyi, dan stupa-stupa yang mulai muncul dari masa silam.

Cornelius segera melaporkan temuannya kepada Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, yang sangat tertarik pada sejarah dan kebudayaan Jawa. (1)

Baca Juga: Seberapa Akurat Tes MBTI dalam Menentukan Kepribadian? Simak Penjelasannya di Sini!

Raffles, yang dikenal sebagai seorang sarjana yang penuh rasa ingin tahu, langsung menugaskan Cornelius untuk melanjutkan pembersihan dan penggalian candi ini.

Dalam kontak spiritual, saya merasakan kehadiran Raffles saat dia datang mengunjungi Borobudur setelah mendengar laporan Cornelius. 

Raffles berdiri di depan candi, kagum oleh kemegahannya, meskipun masih setengah tertutup oleh tanah dan vegetasi. 

Baca Juga: BPS Ingatkan Pemda Bengkulu untuk Tetap Mengawasi Stabilitas Harga Beras hingga Akhir 2024

Dia tahu bahwa yang dia temukan ini bukan hanya sekadar reruntuhan, melainkan sebuah warisan yang sangat berharga.

Raffles kemudian menulis tentang Borobudur dalam bukunya “The History of Java". Ia menggambarkan keindahan dan kekagumannya terhadap candi ini. 

Raffles mendokumentasikan relief-reliefnya, arsitekturnya, dan nilai sejarahnya, membawa Borobudur kembali ke dalam kesadaran dunia.

Baca Juga: 5 Tempat Ngopi Terbaik di Cirebon yang Wajib Dikunjungi

Sayangnya, Raffles tidak sempat melakukan restorasi penuh pada Borobudur. Upaya pembersihan awal yang dilakukan Cornelius hanyalah langkah pertama. 

Meskipun begitu, saya bisa merasakan bahwa inisiatif Raffles telah membuka pintu bagi upaya pelestarian yang lebih besar di masa depan. Berkat dialah dunia kembali mengenal Borobudur, dan candi ini tidak lagi terkubur oleh waktu.

2. Era Pembangunan Borobudur: Kemegahan Syailendra (Abad ke-8 hingga ke-9)

Baca Juga: Tanggapan Satrio Arismunandar pada Diskusi SATUPENA: Filologi Punya Arti Penting Bagi Profesi Penulis

Kontak batin membawa saya melayang lebih jauh ke masa lalu, ke abad ke-8 dan ke-9. Itu era ketika Borobudur pertama kali dibangun di bawah kekuasaan *Dinasti Syailendra*. 

Saya melihat sekelompok pekerja yang sibuk memahat batu-batu vulkanik menjadi blok-blok yang presisi, tanpa menggunakan semen. 

Lebih dari *2 juta blok batu* diangkut dan disusun menjadi piramida bertingkat yang megah, dengan stupa-stupa yang menara di puncaknya.

Baca Juga: Ide Jualan Minuman Kekinian Ekonomis yang Dijamin Laris! Cara Bikin Es Jomblo yang Seger dan Murah Meriah

Saya menyaksikan para pekerja yang jumlahnya ribuan, bekerja keras di bawah terik matahari, memotong dan mengukir batu, serta mengangkutnya dari lokasi tambang ke situs pembangunan. 

Para arsitek dan insinyur dinasti Syailendra mengawasi pekerjaan ini dengan seksama, memastikan setiap batu ditempatkan dengan tepat, sesuai dengan desain yang rumit dan filosofis.

Saya terhanyut dalam percakapan batin dengan salah satu arsitek utama Borobudur. Dia menjelaskan kepada saya bahwa Borobudur dirancang berdasarkan kosmologi Buddha.

Baca Juga: Bank Aceh Syariah Menghadirkan Layanan Weekend Banking Selama PON XXI Aceh-Sumut 2024

Ada tiga tingkat utama dalam struktur candi, yaitu *Kamadhatu* (dunia nafsu), *Rupadhatu* (dunia rupa atau bentuk), dan *Arupadhatu* (dunia tanpa bentuk), yang melambangkan perjalanan spiritual menuju pencerahan.

Setiap relief di Borobudur memiliki makna yang dalam, kata sang arsitek. Mereka menceritakan kehidupan Sang Buddha, ajaran-ajarannya, dan kisah-kisah kehidupan masa lalu. 

Para seniman dinasti Syailendra memahat lebih dari  2.600 panel relief, menjadikannya ansambel relief Buddha terbesar di dunia. Ia berkata setiap panel memiliki cerita, tidak hanya tentang Buddha, tetapi juga tentang kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu.

Baca Juga: Kunjungan Wisata ke Kawah Ijen Dibuka Kembali Mulai 8 September 2024

Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur tidak hanya megah secara fisik, tetapi juga mengandung nilai spiritual yang sangat mendalam. 

Arsitek tersebut menjelaskan Borobudur dirancang sebagai mandala raksasa. Bangunan ini memfasilitasi orang untuk berjalan melingkar naik ke puncak candi. Para pejalan seakan-akan sedang melakukan perjalanan menuju pencerahan.

Dalam kontak spiritual itu, saya menyaksikan kemegahan Borobudur saat pertama kali selesai dibangun. Sebuah monumen yang menakjubkan, dibangun dengan tekad dan keyakinan untuk menciptakan tempat suci bagi umat Buddha di Nusantara. 

Baca Juga: Dampak Positif Pompanisasi, Provinsi Banten Catatkan Kenaikan NTP Tertinggi Kedua di Indonesia

Saya bisa merasakan rasa bangga dari setiap orang yang terlibat dalam pembangunannya, karena mereka tahu bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang akan bertahan selama berabad-abad.

3. Era Dilupakan: Ketika Borobudur Tertimbun oleh Waktu (Abad ke-14 hingga Abad ke-19)

Perjalanan spiritual kemudian membawa saya ke masa yang lebih suram. Saya melihat Borobudur mulai dilupakan. Pada abad ke-14, agama Islam mulai menyebar di Nusantara dan menggantikan agama Buddha sebagai kepercayaan utama di Jawa. 

Borobudur, yang dulu merupakan tempat ziarah dan pusat keagamaan, perlahan-lahan kehilangan fungsinya.

Saya menyaksikan bagaimana gunung berapi di sekitarnya, terutama  Gunung Merapi, mulai meletus, menutupi Borobudur dengan lapisan debu vulkanik. 

Letusan demi letusan memperburuk keadaan, dan tanpa ada yang merawatnya, Borobudur tertimbun lebih dalam. Pohon-pohon besar tumbuh di atasnya, akarnya menembus celah-celah batu, dan pepohonan liar mengelilingi candi.

Saya melihat masyarakat di sekitar Borobudur, yang kini sebagian besar telah memeluk Islam, tidak lagi menganggap candi itu sebagai tempat suci. 

Borobudur menjadi bagian dari lanskap yang terlupakan, tertimbun oleh alam, dan kehilangan maknanya di tengah perubahan kepercayaan dan waktu. 

Candi itu seakan terhapus dari ingatan kolektif masyarakat, hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang telah ditinggalkan.

Pada saat itu, Borobudur seperti tenggelam dalam tidur panjang, terlupakan oleh peradaban. Saya merasakan kesunyian yang mendalam, seolah-olah candi itu menunggu untuk ditemukan kembali, untuk dihidupkan lagi dari debu dan tanah yang telah menutupinya selama berabad-abad.

Dalam hening, air mata saya menetes. Saya merasakan kesedihan patung- patung Budha itu karena kepalanya dicuri. Ratusan patung duduk, tanpa ada kepala.

-000-

Saya tersadar kembali dari perjalanan spiritual ini dengan kesadaran baru tentang Borobudur. 

Candi ini bukan hanya bangunan batu yang megah, tetapi juga penjaga cerita dari tiga masa yang berbeda. Borobudur telah melewati banyak fase dalam sejarahnya.

Itu dimulai dengan masa kejayaan di bawah Syailendra, masa terlupakan karena perubahan agama dan alam, hingga masa penemuan kembali oleh Raffles. Setiap lapisan waktu itu tercetak dalam batu-batunya, reliefnya, dan stupa-stupa yang menjulang.

Saat saya berdiri di puncak Borobudur, melihat ke arah cakrawala, seolah-olah saya berdiri di persimpangan antara masa lalu dan masa kini. 

Borobudur, melalui tiga masanya, mengingatkan kita bahwa meskipun waktu terus berjalan, warisan yang ditinggalkan  bertahan lebih lama dari usia manusia itu sendiri.

Ketika saya meninggalkan Borobudur, saya membawa serta rasa syukur. Saya bisa menyaksikan dan merasakan keajaiban dari masa lalu yang masih hidup dalam setiap batu dan stupa di candi ini. 

Borobudur akan selalu menjadi pengingat bahwa masa silam tidak pernah benar-benar mati. Ia tetap dan selalu hadir. Ia menunggu untuk ditemukan kembali dalam setiap langkah kita menuju pencerahan.***

-000-

Ditulis di kereta Api Jogjakarta Menuju Jakarta, 8 Sept 2024

(1) Kisah Borobudur ditemukan kembali di era Thomas Raffles, di abad 19:

PBShttps://www.pbs.org › boro_mainBorobudur Introduction

Berita Terkait