Sekjen Satupena Memberikan Pendapatnya soal Sastra: Menyuarakan Kelompok yang Terpinggirkan
- Penulis : Imron Fauzi
- Jumat, 21 Juni 2024 17:45 WIB

Salah satu contohnya, kata Satrio, adalah penulis George Orwell. Novel Orwell seperti "1984" dan "Animal Farm" mengkritik totalitarianisme dan menyuarakan pentingnya kebebasan dan hak individu.
Contoh lain adalah Pramoedya Ananta Toer. “Melalui karya-karyanya, seperti tetralogi Pulau Buru, Pramoedya menyoroti perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan dan ketidakadilan, yang juga mencerminkan nilai-nilai demokrasi,” sambung Satrio.
Satrio berpendapat, sastra dapat berfungsi sebagai alat pendidikan yang kuat, membantu masyarakat memahami dan menghargai nilai-nilai demokrasi.
Baca Juga: Kenalkan Kebun Buah Naga Kuning untuk Wisatawan, Pemkab Kuningan: Kunjungan Mencapai 2,4 Juta
“Dengan membaca sastra, individu dapat lebih memahami isu-isu kompleks dan mengembangkan empati terhadap orang lain,” tuturnya.
Menurut Satrio, dalam masyarakat demokratis, diskusi dan dialog adalah esensial.
“Sastra menyediakan ruang untuk refleksi dan dialog tentang isu-isu penting, memungkinkan berbagai suara dan perspektif untuk didengar dan dipertimbangkan,” imbuhnya.***
Baca Juga: Undang Eka Budianta, Satupena Akan Diskusikan Sastra tentang Demokrasi dan Lingkungan Kebudayaan