DECEMBER 9, 2022
News

Ketika Orang Pintar Pun Jadi Jongos: Menyambut Pertunjukan Teater di Yogyakarta

image
(Bisnisabc.com/Kiriman)

Oleh Denny JA

BISNISABC.COM - “Di Luar Oligarki, Semua Hanyalah Korban.”

Ini kalimat pembuka dari skenario teater yang mengambil judul the Jongos. 

Baca Juga: BNI luncurkan kartu TapCash desain khusus NCT 127

Membaca kalimat pembuka itu, seketika saya mengembangkan imajinasi. Oligarkhi  di tanah air begitu sering dibicarakan.

Naskah ini mungkin kritik sosial atas praktek oligarkhi yang ada, terhadap kondisi ekonomi dan politik yang semakin didominasi oleh segelintir orang saja.

Judul The Jongos itu juga membangkitkan dugaan. Apakah pertunjukkan teater kali ini ingin membuka mata, betapa kini orang- orang pintar, intelektual, aktivis, politisi hanya menjadi The Jongos saja, menjadi babu saja dari majikan penguasa?

Baca Juga: Milo umumkan empat pemenang utama perlombaan desain mug

Sayapun membaca cuplikan awal dialog karakter di naskah itu.

KOTTO:

“Ya wajar dong! Karena hanya orang berkuasa dan kaya yang berhak marah!”

Baca Juga: Podcast Meghan Markle Tidak Akan Dilanjutkan karena Kesepakatannya dengan Spotify Berakhir

BUSRIL:

“Tapi kita juga berhak tersinggung dan marah?”

KOTTO:

Baca Juga: LSI Denny JA: Anies Penting Dipertimbangkan Jadi Cawapres Prabowo

“Oh ya enggak, (pause) Hak kita hanya untuk dimarahi. Itulah kodrat jongos yang sejati. Paham?”

BUSRIL:

“Wah ya ndak bisa. Ndak bisa. Kita setara. Ini harus didobrak! Biar egaliter!”

Baca Juga: Ringankan Beban Ekonomi Masyarakat, Pemkab Batang Gelar Paket Tebus Murah Sembako

KOTTO:

“Egaliter..egaliter ndas situ! (pause) He, kamu mesti ingat ajaran leluhur perjongosan. 

Sejongos-
jongosnya Jongos yang radikal, masih lebih baik jongos yang selalu siap ditindas (tertawa).”

Baca Juga: Kawasan Industri Hijau di Kaltara Sudah Serap 5.200 Tenaga Kerja Lokal

-000-

Naskah The Jongos ditulis oleh Indra Tranggono. Yang menjadi sutradara Isti Nugroho. Naskah dimainkan oleh Teater Dapoer Seni Djogja. Pentas teater ini untuk tanggal 10 Agustus 2024, di Auditorium, Jurusan ISI, Jogjakarta.

Pesannya memberikan kritik tajam terhadap sistem oligarki dan ketidakadilan yang merajalela. Cerita ini berpusat pada Tuan Hakim, simbol dari sistem hukum yang korup dan tunduk pada kekuasaan oligarki. 

Baca Juga: BB TNBTS Ingatkan Wisatawam Bromo untuk Waspadai Kebakaran Hutan saat Kemarau

Pesan utamanya: di luar kelompok oligarki yang berkuasa dan kaya, semua orang hanyalah korban dari sistem yang korup dan tidak adil.

Skenario ini dimulai dengan Prof Dr Pras Jikmo yang memberikan jubah kepada Tuan Hakim. Itu simbol penyerahan kekuasaan. 

Panggung terdiri dari tiga level yang menunjukkan hierarki sosial. Tuan Hakim di level atas. Busil serta Kotto, sebagai jongos atau pelayan, di bawah. 

Baca Juga: Denny JA Sebut Penyair di Payakumbuh Keliru Mencampuradukkan Puisi Esai dengan SATUPENA

Lagu "Pergi Tanpa Pesan" yang dinyanyikan oleh Busil membuka cerita. Lagu itu bersuasana muram, menggambarkan ketidakadilan yang mereka alami.

Dialog antara Busil dan Kotto mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap sistem yang ada. Mereka berbicara tentang keadilan yang tidak pernah datang dan bagaimana mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa. 

Ketegangan meningkat ketika Tuan Hakim menunjukkan ketidakpuasannya.  Hidupnya penuh tekanan dan godaan korupsi. 

Baca Juga: Siap Gelar Cocotech, Kemendag Bahas Ekonomi Hijau Komoditas Kelapa

Prof Dr Pras Jikmo datang menekan. Kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Tak apa, meskipun itu mengorbankan integritas. 

Klimaks cerita terjadi ketika Tuan Hakim menerima hadiah-hadiah dari oligarki.  Hakim merasakan beban moral dan dosa. Itu hadiah atas keputusan-keputusannya yang tidak adil. 

Tuan Hakim akhirnya meledakkan dirinya sendiri. Itu simbol kehancuran moral yang ditimbulkan oleh sistem korup.

Baca Juga: Kementerian PUPR Sebut Tol dari Balikpapan ke IKN Ditargetkan Bisa Difungsikan 17 Agustus 2024

Busil dan Kotto mendiskusikan nasib mereka setelah kematian tuan mereka sang hakim.  Apakah mereka memilih tunduk atau menolak oligarki? 

Beranikah mereka tak menjadi The Jongos bagi oligarkhi, meskipun berarti mereka harus hidup sebagai gelandangan?

Karakter-karakter dalam skenario ini, terutama Tuan Hakim, ditampilkan dengan kompleksitas moral. Terjadi  pergulatan batin antara integritas dan korupsi. 

Dialog yang tajam dan lucu, juga penggunaan simbolisme memperkuat pesan moral yang disampaikan.

-000-

Teater memang telah lama digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial. Ia memberikan suara kepada yang tertindas, dan mengajak penonton untuk berpikir kritis tentang isu-isu masyarakat. (1)

Membaca naskah The Jongos, saya pun teringat simbolisme dari 
"The Crucible.” Naskah ini ditulis oleh Arthur Miller pada tahun 1953. Drama ini menggambarkan perburuan penyihir Salem pada abad ke-17.

Tetapi itu sebenarnya merupakan alegori untuk McCarthyism di Amerika Serikat pada 1950-an. Itu era ketika begitu banyak seniman, intelektual dan politisi yang diburu karena diduga bagian dari jaringan komunisme.

Perburuan atas para komunis  (diduga) abad 20 itu mirip seperti perburuan atas penyihir (diduga) abad 17.

Miller menggunakan cerita tentang John Proctor, seorang petani yang dituduh sebagai penyihir tanpa bukti konkret. Ini untuk mengkritik paranoia yang menghancurkan kehidupan individu.

Pesan utama dari "The Crucible" adalah peringatan terhadap bahaya dari ketakutan kolektif. Ketidak adilan dapat terjadi ketika masyarakat dipenuhi kebencian plus prasangka, walau tidak berdasar.

Lalu The Jongos dan Hakim
dalam teater Indra Trenggono dan Isti Nugroho ini simbolisme dari peristiwa apakah?

Apakah hakim dalam naskah itu untuk mengeritik hakim MK yang meloloskan Gibran maju dalam Pilpres 2024? Apakah The Jongos itu sebagai kritik terhadap banyak pemikir, intelektual yang hanya menjadi babu dari majikan penguasa?

Penonton tentu dapat menjawab dan mengembangkan prasangkanya sendiri. Teater kritik sosial memang fungsinya memberi umpan bola lambung saja. Penonton sendiri yang harus melanjutkan umpan bola lambung itu.***

Jakarta, 21 Juli 2024.

CATATAN

(1) Teater kritik sosial:

https://www.jstor.org/stable/1125047

Berita Terkait